Dari Pesantren ke Panggung Sastra
Tak hanya dikenal sebagai ulama, Gus Mus juga mendapat tempat istimewa di dunia sastra Indonesia. Puisinya yang berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana menjadi simbol perenungan dan kritik sosial yang tajam namun tidak melukai. Puisinya banyak dikutip dalam berbagai forum, dibacakan oleh mahasiswa dan aktivis sosial sebagai bagian dari kesadaran publik terhadap keadilan sosial.
Sebagai penyair, Gus Mus telah menerbitkan sejumlah antologi puisi, di antaranya Ohoi (1991), Tadarus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Pahlawan dan Tikus (1995), Gelap Berlapis-lapis, Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (2000), dan Negeri Daging (2002).
Gaya puisi Gus Mus dikenal lugas dan menggunakan bahasa sehari-hari. Di balik kesederhanaannya, puisinya menyimpan kedalaman makna yang menggelitik nurani. Gaya ini sering disebut sebagai “kesederhanaan yang mengelabui” (deceptive simplicity). Tema sosial dan religius berpadu secara halus, seperti dalam puisinya berjudul Persaksian dari antologi Gandrung, Sajak-Sajak Cinta.