GRESIK, PustakaJC.co - Sosok Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim kembali mencuri perhatian setelah sejumlah penelitian terbaru mengungkap peran besarnya jauh melampaui narasi populer sebagai pedagang dan penyebar Islam. Tokoh Walisongo tertua yang wafat pada 1425 M itu kini dinilai sebagai salah satu penguasa penting dalam jaringan Jalur Rempah Nusantara.
Kajian epigrafi pada batu nisannya serta catatan Dinasti Ming menunjukkan bahwa Malik Ibrahim bukan sekadar ulama pendakwah, melainkan seorang pemimpin berwenang yang memegang otoritas besar di Jawa. Analisis dalam jurnal Malik Ibrahim Wali Songo and The First Islamic Authoritative Ruler In The Land Of Java (Asian Journal of Engineering, Social and Health, 2023) menegaskan gelar “Malik” pada nisannya merujuk pada pemimpin atau gubernur, bukan pedagang. Dilansir dari nu.or.id, Kamis, (20/11/2025).
Batu nisan Malik Ibrahim juga menyebutkan gelar-gelar bangsawan seperti amir, kebanggaan para bangsawan, serta pendukung sultan dan wazir, menunjukkan posisinya sebagai figur otoritatif dalam struktur pemerintahan Islam. Gelar Jawanya, Ki Saka Pati Bantala, juga bermakna “pilar para penguasa dunia”, selaras dengan gelar Arab umdatus salatin.
Penelitian lebih lanjut menghubungkan Malik Ibrahim dengan Sultan Zainal Abidin dari Samudra Pasai, ayah Malikah Nahrasyiyah. Keduanya memiliki batu nisan marmer tipe Cambay yang identik, satu-satunya pasangan nisan kembar di Nusantara. Kedua epitaf ini juga memakai sebutan as-said as-syahidhanya pada dua tokoh tersebut, memperkuat indikasi bahwa keduanya satu garis keluarga.
Hubungan Pasai dan Gresik pun semakin jelas lewat sebaran nisan Cambay abad ke-13 hingga 15. Dari 17 nisan tipe serupa yang ditemukan di Nusantara, tiga di antaranya berada di Gresik dan empat belas berada di Pasai, menunjukkan pusat produksi dan kesinambungan budaya yang erat.
Catatan Dinasti Ming menambah dimensi baru: Malik Ibrahim diidentifikasi sebagai Shi Jin Qing, panglima yang ditunjuk tiga kekuatan besar—Samudra Pasai, kerajaan di Jawa, dan Dinasti Ming—untuk menjaga keamanan Jalur Rempah dari Sumatra hingga Gresik. Perannya bukan hanya sebagai syahbandar, tetapi komandan tertinggi yang menghadapi bajak laut dan mengatur urusan Islam di pelabuhan besar kawasan itu.
Warisan kepemimpinannya berlanjut melalui dua putrinya. Putri sulungnya, Nyai Ageng Pinatih (Sayyidah Fatimah), bermigrasi ke Jawa dan menjadi syahbandar Gresik. Ia juga mengasuh Sunan Giri yang kelak menjadi Walisongo terkemuka. Sementara putri kedua, Shi Er Jie, menerima mandat pengamanan jalur rempah di wilayah Sumatra.
Pembangunan Pelabuhan Gresik pada 1425 merupakan investasi bersama Pasai, kerajaan di Jawa, dan Ming. Pelabuhan ini berkembang menjadi pusat perdagangan Islam terbesar di Jawa selama seabad berikutnya, menegaskan posisi strategis keluarga Malik Ibrahim dalam jaringan rempah dan dakwah Islam.
Dengan temuan baru ini, sosok Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim dipandang bukan hanya sebagai penyebar Islam, tetapi sebagai penguasa berwibawa, pilar para sultan, serta figur sentral yang merintis fondasi monoteisme di Tanah Jawa sekaligus membentuk lanskap politik dan keagamaan abad ke-15. (ivan)