SURABAYA, PustakaJC.co - Kiai Marzuki Kurdi, sosok yang lama dikenal dalam lingkaran gerakan Nahdliyin Yogyakarta, berpulang pada 18 Oktober 2025. Kabar duka itu menyebar di tengah acara haul KH Moh. Imam Aziz, seakan meneguhkan bahwa hidupnya memang tak pernah jauh dari ruang-ruang perjuangan kultural NU.
Dibesarkan di Sumurgung, Montong, Tuban—desa kapur dengan sawah tadah hujan—Marzuki Kurdi mewarisi keteguhan dari lingkungan keras tempat ia tumbuh. Putra ketiga dari pasangan Kiai Kurdi dan Nyai Umi Kultsum itu sejak kecil sudah ditempa oleh tradisi pesantren, tirakat, dan kehidupan masyarakat desa yang penuh keterbatasan. Dari sanalah “manusia kapur” itu lahir: kokoh, tidak mudah goyah, dan jernih dalam bersikap. dilansir dari nu.or.id, Jumat, (21/11/2025).
Selepas belajar di MI dan MTs Tarbiyatul Banin–Banat, ia menimba ilmu di Pondok Pesantren Tambakberas dan kemudian melanjutkan studi di IAIN Sunan Kalijaga. Di Yogyakarta ia mulai menautkan diri dengan gerakan mahasiswa, teater, dan komunitas intelektual kampus yang kelak mewarnai jalan pikirannya. Perjumpaannya dengan Gus Dur dan tokoh-tokoh LKiS memperkuat laku kritisnya terhadap kekuasaan dan politik pragmatis.
Meski ayahnya berharap ia pulang untuk meneruskan Pesantren Mambaul Ulum, jalan hidupnya justru menggiringnya masuk ke jejaring gerakan rakyat. Dari LKPSMNU–Lakpesdam hingga jaringan Bina Desa, SPI, dan Gusdurian, Marzuki Kurdi menjadi figur yang memadukan nalar gerakan, kedalaman spiritual, dan keberpihakan pada masyarakat kecil.
Di Yogyakarta, ia bukan hanya penggerak, tetapi juga pembimbing generasi muda. Dalam kondisi sakit pun, ia tetap hadir memberi arah, mengorganisir, dan menjaga marwah gerakan. Sikapnya dikenal tegas: tidak bermain politik praktis, tidak mengambil jalan pintas, dan tidak membiarkan gerakan terjebak kepentingan. Diksi-diksinya lugas, kadang pedas, tetapi tertuju pada satu hal—menegakkan integritas.
Warisan terbesar Kiai Marzuki Kurdi bukan pada jabatan, melainkan pada keteguhan sikap. Ia menunjukkan bahwa jalan kiai rakyat bukan perkara slogan, tetapi konsistensi untuk berdiri bersama kelompok bawah, mengalirkan pengetahuan, dan menjaga kebeningan batin—seperti air kapur yang menjadi metafor kehidupan yang menempanya sejak kecil.
Kepergiannya menyisakan teladan bagi generasi penerus: bahwa perjuangan membutuhkan ketenangan, keyakinan, dan keberanian untuk tidak hanyut dalam arus politik. Dari desa kapur di Tuban hingga ruang-ruang gerakan di Yogyakarta, jejak Marzuki Kurdi tetap hidup sebagai inspirasi keteguhan di tengah zaman yang mudah berbelok arah. (ivan)