Pacinan, Jejak Sejarah yang Mulai Pudar

wisata | 30 Maret 2025 00:18

Pacinan, Jejak Sejarah yang Mulai Pudar
Salah satu rumah di Pedukuhan Pacinan, Desa Galaherang, Kec. Maleber, Kab. Kuningan. (dok kemenag.go.id)

GALAHERANG, PustakaJC.co - Di sebuah pedukuhan kecil yang dahulu penuh kehidupan, kini hanya tersisa rumah-rumah kosong dan kenangan masa lalu. Pacinan, bagian dari sejarah keberagaman di desa ini, perlahan memudar seiring berjalannya waktu.

 

Pacinan begitu warga desa menyebutnya. Sebuah pedukuhan kecil yang dahulu dihuni sekitar 20 kepala keluarga keturunan Tionghoa. Rumah-rumah dengan arsitektur khas, tokoh-tokoh lokal seperti Babah Kantoa, Kui Chi, dan Eng Shang, serta tradisi yang melekat, menjadikan Pacinan bagian penting dari sejarah desa. Dilansir dari kemenag.go.id Minggu, (30/3/2025).

 

“Dulu saat Imlek, pedukuhan ini sangat meriah. Lampion digantung di depan rumah, aroma dupa memenuhi udara, dan anak-anak berebut angpau,” kenang Warto (67), salah satu warga yang masih tinggal di desa itu.

 

“Sekarang, semua berubah. Pacinan sepi, rumah-rumah kosong, banyak yang sudah pindah.” Tambahnya.

Pacinan pernah menjadi simbol harmoni dan keberagaman. Saat Imlek, anak-anak Muslim desa ikut bersuka cita menerima angpau dan menikmati kue bakpau. Sebaliknya, saat Lebaran, warga keturunan Tionghoa turut bersilaturahim ke rumah-rumah tetangga Muslim mereka. Perbedaan tidak menjadi pemisah, justru menjadi perekat kebersamaan.

 

Namun, seiring waktu, generasi muda mulai merantau ke kota besar. Banyak keluarga Tionghoa yang memilih menetap di sana, meninggalkan rumah-rumah mereka yang kini terbengkalai.

 

“Anak-anak mereka sekolah ke luar kota, terus kerja dan tinggal di sana. Kami yang tua-tua akhirnya juga ikut pindah,” ujar Pak Kwee, mantan penghuni Pacinan yang kini tinggal di Surabaya.

Salah satu rumah yang paling dikenang adalah rumah Nyonya Pa, seorang wanita tua yang ramah dan sering membagikan kue kepada anak-anak desa. Kini, rumah itu tak lagi berdiri, hanya tersisa perapian tanah yang tertutup ilalang.

 

Menurut sejarawan lokal, hilangnya komunitas Tionghoa dari desa-desa kecil seperti Pacinan bukan kasus tunggal. Banyak pedukuhan serupa di seluruh Indonesia yang mengalami nasib yang sama. Faktor ekonomi, modernisasi, dan perubahan zaman menjadi penyebab utama.

 

“Mereka pindah ke kota mencari kehidupan yang lebih baik. Sementara itu, sejarah mereka di desa perlahan terkikis oleh waktu,” ujar Dr. Suharto, peneliti budaya dari Universitas Airlangga.

 

Pacinan adalah bagian dari sejarah Indonesia yang perlu dikenang. Kepergian penghuninya meninggalkan jejak budaya yang semakin memudar. Kini, hanya kenangan yang tersisa, mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan menghargai warisan sejarah di sekitar kita. (ivan)