SURABAYA, PustakaJC.co - Probolinggo, sebuah kota di pesisir timur Jawa Timur, menyimpan kisah sejarah yang panjang dan menarik. Di balik hiruk-pikuk aktivitas warganya hari ini, tersimpan jejak masa lalu yang tak banyak diketahui: dari asal-usul nama kota hingga sederet tokoh yang pernah memimpin.
Tahukah Anda bahwa dahulu kala, Probolinggo dikenal dengan nama Banger? Nama ini diambil dari sungai yang membelah kawasan tersebut, Sungai Banger. Penyebutan ini bukan sembarang julukan Banger bahkan tercatat dalam kitab kuno Negarakertagama karya Mpu Prapanca, ditulis pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk.
Awalnya, Banger hanyalah sebuah pedukuhan kecil yang berada di bawah kekuasaan akuwu Sukodono. Namun seiring waktu, wilayah ini berkembang dan memiliki pemerintahan sendiri. Pada masa Perang Paregreg perang saudara antara Prabu Wikramawardhana dan Bre Wirabumi alias Minakjinggo wilayah Banger turut menjadi saksi pergolakan politik Majapahit.
Lompatan sejarah membawa kita ke abad ke-18, ketika Sunan Pakubuwono II menyerahkan sebagian wilayah Mataram, termasuk Banger, kepada VOC. Kolonial Belanda kemudian menunjuk Kyai Djojonegoro sebagai bupati pertama, memulai babak baru dalam pemerintahan lokal.
Nama Probolinggo sendiri baru melekat kemudian, diyakini sebagai penggabungan kata "prabu" dan "linggo", atau berasal dari bahasa lokal yang berarti "tempat yang tinggi dan terang".
Wali Kota dari Masa ke Masa
Sejak resmi menjadi kota administratif pada 1929, Probolinggo telah dipimpin oleh berbagai sosok pemimpin. Mereka datang dari beragam latar belakang, membawa gaya kepemimpinan masing-masing. Berikut beberapa nama yang tercatat dalam sejarah kepemimpinan Kota Probolinggo:
Ferdinand Edmond Meijer (1928–1937)
L. A. de Graaff (1937–1940)
L. Noe (1940–1942)
Raden Soedono (1943–1945)
Gatot (1950–1959)
Nurudin Madhar Iljas (1959–1961)
Soendaroe Prawiro Adiredjo (1961–1965)
Dan puluhan nama lainnya hingga era modern
Setiap pemimpin meninggalkan jejaknya masing-masing dari pembangunan infrastruktur, pendidikan, hingga penguatan budaya lokal. (nov)