JAKARTA, PustakaJC.co – Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) kembali menegaskan perannya bukan sekadar ajang lomba baca kitab kuning, tetapi juga standar kompetensi santri sekaligus wahana kaderisasi ulama masa depan.
Ketua Tim Akademik MQKI 2025, Muhamad Sofi Mubarok, menyebut MQK menjadi ruang interaksi akademik antar-pesantren yang menyatukan tradisi dan melatih santri berpikir kritis. Dilansir dari kemenag.go.id, Minggu, (28/9/2025).
“MQK tidak bisa direduksi hanya pada dimensi lomba. Ia adalah representasi kultural-intelektual pesantren di ruang publik,” ujarnya.
MQK tidak hanya menguji kemampuan membaca teks Arab gundul, tetapi juga menganalisis konteks sosial, historis, hingga filosofis kitab klasik. Cabang baru seperti Risalah Ilmiyah dan Debat Qanun bahkan membuka ruang bagi santri untuk merespons isu kontemporer, mulai dari ekoteologi, perdamaian global, hingga konstitusi modern.
Menurut Sofi, MQK menjadi “laboratorium kaderisasi ulama” yang menjaga kesinambungan tradisi pesantren sekaligus menyiapkan santri menghadapi tantangan zaman.
“Ulama masa depan dituntut tidak hanya menguasai turats, tetapi juga mampu menjawab persoalan global tanpa meninggalkan akar tradisi,” tambahnya.
Sejumlah tokoh pendidikan Islam menilai, kehadiran MQK penting sebagai mekanisme regenerasi ulama. Pesantren di berbagai daerah menjadikan ajang ini bukan hanya kompetisi, tetapi juga proses seleksi alamiah untuk melahirkan figur-figur dengan otoritas ilmiah dan integritas moral.
“Santri yang terbiasa dengan dialektika MQK akan memiliki bekal adab ilmiah, keluasan tafsir, serta keberanian merumuskan jawaban hukum dan etika yang relevan dengan kondisi masyarakat,” jelas Sofi.
Dengan demikian, MQK dipandang bukan hanya ajang kontestasi, melainkan juga mekanisme strategis untuk memastikan lahirnya ulama otoritatif, moderat, dan relevan bagi peradaban Islam Nusantara. (ivan)