Guru dalam hal ini tidak bisa hanya menjadi fasilitator teknis. Mereka adalah penjaga nilai yang membimbing murid membangun relasi yang sehat dengan teknologi.
Masalahnya, literasi digital yang selama ini ditekankan sering kali masih sampai pada keterampilan teknis. Padahal dunia digital menuntut dua lapis kemampuan tambahan: kesalehan dan kemandirian.
Abdul Mu'ti menyebutnya sebagai kesalehan digital, yakni kemampuan menggunakan teknologi dengan tanggung jawab etis dan sosial.
Lebih dari itu, kita juga perlu membangun kemandirian digital: kemampuan memahami cara kerja teknologi, bias algoritmik, dan risiko sosial-politik yang menyertainya. Tanpa dua hal ini, kita hanya melahirkan generasi yang mahir, tapi tidak sadar sedang diarahkan entah ke mana.
Pendidikan teknologi seharusnya menjadi proses memperkuat daya pikir, daya rasa, dan daya nilai peserta didik. Kita tidak hanya dihadapkan pada pertanyaan “Bisakah kita ajarkan AI?”, tetapi juga “Apakah kita siap tetap mengajarkan perjuangan?” Sebab tanpa kesulitan, manusia kehilangan momentum untuk bertumbuh secara utuh—secara emosi, nalar, dan makna. Padahal, pada generasi ini kita sedang menitipkan Indonesia Emas.
Namun, visi besar semacam ini sulit terwujud tanpa pembenahan mendasar pada kondisi guru di Indonesia: dari jumlah yang belum mencukupi, distribusi yang tidak merata, hingga kualitas yang belum ideal. Hasil Uji Kompetensi Guru juga menunjukkan capaian yang rendah, dan tantangan pendidikan di daerah terpencil belum terjawab secara sistemik.