MADIUN, PustakaJC.co - Menjawab tingginya angka gangguan penglihatan di Kabupaten Madiun, Yayasan Paramitra Indonesia menggandeng Pemerintah Kabupaten Madiun dan awak media dalam diskusi publik bertema layanan kesehatan mata yang inklusif dan menyeluruh. Kegiatan ini digelar di Gedung Graha Praja Mukti, Pusat Pemerintahan Kabupaten Madiun, Rabu, (11/6/2025).
Data tahun 2023 mencatat angka gangguan penglihatan yang mengkhawatirkan: 7.924 kasus katarak, 17.234 gangguan refraksi, dan 828 kasus glaukoma. Namun demikian, baru 44 persen warga yang menjalani skrining mata. Artinya, lebih dari 418 ribu warga belum mengetahui kondisi penglihatan mereka. Dilansir dari jatimpos.co, Jumat, (13/6/2025).
Direktur Yayasan Paramitra, Asiyah Sugianti, menilai masalah ini tidak bisa ditangani oleh sektor kesehatan saja. Menurutnya, pendekatan lintas sektor dan sosial sangat penting.
“Sebagian besar masih menganggap bahwa layanan kesehatan mata hanya menjadi tanggung jawab dinas kesehatan. Padahal, ini adalah tanggung jawab sosial kita bersama,” ujar Direktur Yayasan Paramitra, Asiyah Sugianti dalam sambutannya.
Asiyah mendorong peran aktif Kementerian Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, organisasi difabel, media, hingga kader posyandu. Semua pihak diminta terlibat dalam edukasi dan sosialisasi pentingnya menjaga kesehatan mata.
“Kesehatan mata belum menjadi prioritas. Tapi dari forum ini, kami mengajak pemerintah dan masyarakat untuk lebih peduli terhadap layanan kesehatan mata,” tambahnya.
Jurnalis Kompas.com, Muhlis Al Alawi, yang hadir sebagai narasumber, menyoroti kurangnya cakupan skrining mata dan pentingnya optimalisasi Alokasi Dana Desa (ADD).
“ADD bisa digunakan hingga 20 persen untuk program skrining mata. Ini peluang besar agar cakupannya bisa mencapai 100 persen,” tegas Muhlis.
Meski Pemkab Madiun telah mendapatkan predikat Universal Health Coverage (UHC) 100 persen dari BPJS Kesehatan, masih terdapat celah kepesertaan. Setiap tahun, anggaran sebesar Rp 77 miliar dikucurkan untuk iuran BPJS, namun baru sekitar 80 persen warga yang aktif sebagai peserta.
“Dulu anggarannya hanya Rp 20 miliar untuk warga miskin. Sekarang sudah ditanggung semua, termasuk untuk gangguan mata. Tapi keaktifannya perlu ditingkatkan,” kata Muhlis.
Diskusi ini diharapkan melahirkan kebijakan lokal yang lebih inklusif, menjangkau kelompok rentan, dan mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) bidang kesehatan, khususnya dalam isu penglihatan. (ivan)