GRESIK, PustakaJC.co – Fenomena abrasi semakin mengancam wilayah pesisir Kabupaten Gresik. Dalam beberapa tahun terakhir, daratan yang dulunya dimiliki warga kini lenyap ditelan laut. Berdasarkan data Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Gresik, terdapat sekitar 2.200 hektare lahan di dua kecamatan yang kini berada di bawah permukaan air laut.
Kondisi ini paling parah terjadi di Kecamatan Ujungpangkah dan Mengare (Kecamatan Bungah). Meski lahan-lahan tersebut masih tercatat dan bersertifikat resmi, bentuk fisiknya sudah tidak ada. Dilansir dari jawapos.com, Jumat, (18/7/2025).
“Tanahnya ada sertifikatnya, tapi tidak tampak wujudnya. Batas antar pemilik hanya berdasarkan insting,” ujar salah satu pejabat Pemkab Gresik.
Abrasi dipicu oleh siklus pasang surut ekstrem yang terjadi hingga 132 kali dalam setahun, berdasarkan catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Bencana ini tak hanya menggerus daratan, tapi juga menyerang tambak-tambak produktif milik warga.
Dinas Perikanan Gresik mencatat, sepanjang tahun 2025 ini, sebanyak 590 hektare tambak di tiga kecamatan terendam. Wilayah paling terdampak adalah Desa Pangkahwetan, Ujungpangkah, yang merupakan sentra tambak bandeng dengan total kerusakan mencapai 300 hektare.
“Petambak sebenarnya sudah mengantisipasi dengan membuat tanggul manual, tapi jika rob datang lebih besar, tanggul itu tetap jebol,” terang Plt Kepala Dinas Perikanan Gresik, Eko Anindito Putro, Kamis, (17/7/2025).
Tambak-tambak yang terdampak tersebar di beberapa desa:
•Ujungpangkah: Pangkahwetan (300 Ha), Banyuurip (25 Ha)
•Bungah: Waruagung (50 Ha), Tanjungwidoro (100 Ha)
•Sidayu: Randuboto (30 Ha), Mojoasem (25 Ha), Mriyunan (15 Ha), Sedagaran (20 Ha), Seowo (25 Ha)
Eko menyebut bahwa fenomena rob yang lebih besar tahun ini disebabkan oleh perubahan cuaca ekstrem dan tekanan gelombang yang meningkat.
Menghadapi ancaman abrasi yang terus meluas, Pemkab Gresik berupaya melakukan penanganan jangka panjang melalui penanaman mangrove. Sepanjang 2025, sekitar 70 ribu bibit mangrove telah ditanam di pesisir utara Gresik.
“Penanaman mangrove memang kami masifkan sejak beberapa tahun terakhir. Kami gandeng banyak perusahaan agar ikut terlibat,” jelas Eko.
Sebanyak 24 jenis mangrove telah ditanam di kawasan pesisir Ujungpangkah, Bungah, dan Manyar. Upaya ini dinilai efektif tidak hanya untuk menahan abrasi, tapi juga menjaga kelestarian ekosistem pesisir dan mendukung perikanan tangkap warga.
Meski ada wacana pembangunan pagar laut permanen, hingga kini belum ada kepastian soal pelaksanaannya. Sekretaris Daerah Gresik, Achmad Washil, menyebut proyek itu belum jelas apakah akan dimulai dari sisi barat atau timur wilayah pantai utara Gresik.
“Karena wilayah laut bukan kewenangan pemkab, kami masih menunggu arahan dan informasi teknis lebih lanjut,” ujarnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Gresik, Ali Yusa, menekankan pentingnya solusi berbasis ekologi. Menurutnya, pagar alami berupa mangrove jauh lebih efektif dan ramah lingkungan.
“Mangrove bisa jadi penghalang abrasi yang alami. Ekosistem tetap hidup dan tidak mengganggu mata pencaharian nelayan,” tegas Wakil Ketua Persatuan Insinyur Indonesia itu.
Selain menahan abrasi, mangrove juga terbukti mampu membantu mitigasi perubahan iklim. Berdasarkan studi Kauffman & Bhomia (2017), satu pohon mangrove dewasa mampu menyerap 12–15 kg CO₂ per tahun, tergantung usia dan lingkungannya.
Dengan estimasi konservatif, 2.000 pohon mangrove saja dapat menyerap 24 ton karbon dioksida dan menghasilkan sekitar 240 ton oksigen setiap tahunnya.
Tanah yang hilang bisa jadi tak tergantikan, tapi Gresik tak tinggal diam. Penanaman mangrove menjadi langkah nyata untuk menjaga daratan yang tersisa, sekaligus melindungi kehidupan petambak dan nelayan pesisir. Harapannya, laut tak lagi melahap sertifikat, dan rob tak lagi menjadi momok setiap musim. (ivan)