Penamaan ‘tengkleng’ juga mencerminkan kehidupan rakyat jelata di masa penjajahan dulu. Ketika itu, masyarakat hanya mampu membeli limbah pangan dari kambing yaitu bagian tulang dan jeroan saja.
Kemudian, mereka memasaknya dengan berbagai bumbu. Dinamakan tengkleng karena saat ditaruh di piring akan mengeluarkan bunyi 'kleng-kleng-kleng'. Piring masyarakat kelas bawah saat itu terbuat dari gebreng (semacam seng). Sehingga, saat tulang itu diletakkan di piring akan menimbulkan suara yang nyaring.
Pada umumnya, tengkleng dinikmati dengan cara dibrakoti atau dikrikiti dalam bahasa Solo, artinya digigit bagian tulang sampai tak tersisa daging yang menempel. Sebab tulang yang dimasak masih memiliki daging, otot, lemak hingga tulang muda.
Bagian tersebutlah yang sering kali diincar saat menikmati tengkleng. Tak hanya sensasi mem-brakoti tulang kambing saja. Sensasi makan tengkleng semakin nikmat saat menghisap secara sedikit demi sedikit sumsum yang ada di tulang kambing.