SURABAYA, PustakaJC.co - Indonesia, dengan keberagaman etnis dan budayanya, memiliki kekayaan bahasa daerah yang tak ternilai.
Yang menarik, di antara ribuan dialek, terdapat kemiripan antara beberapa bahasa daerah dengan bahasa asing. Meskipun seringkali bersifat anekdotal dan memerlukan kajian linguistik mendalam, fenomena ini memantik rasa ingin tahu tentang potensi jejak sejarah dan interaksi budaya di masa lampau.
Artikel ini akan mengulas tiga kasus menarik, yaitu kemiripan antara bahasa Sunda dan bahasa Jepang, bahasa Cia-Cia dan bahasa Korea, serta bahasa Ma’anyan dan bahasa Malagasi.
Salah satu klaim kemiripan yang cukup populer adalah antara bahasa Sunda, yang dituturkan oleh masyarakat di Jawa Barat, dengan bahasa Jepang.
Pada sebuah Keurseus Budaya Sunda yang digelar oleh Pusat Digitalisasi dan Pengembangan Budaya Sunda (PDPBS) Universitas Padjadjaran secara daring via Zoom, Prof. Dr. Mikihiro Moriyama, seorang Guru Besar dari Departemen Studi Asia, Universitas Nanzan, Jepang, menyampaikan pandangan yang menarik mengenai kemiripan antara bahasa Sunda dan Jepang.
Menurut Prof. Moriyama, kedua bahasa ini memiliki tingkat bahasa yang serupa, sehingga menciptakan kecocokan yang kuat antara keduanya. Ia bahkan mengungkapkan bahwa kemiripan antara bahasa Sunda dan Jepang jauh lebih signifikan ketimbang kemiripan antara bahasa Inggris dan Indonesia.
Prof. Moriyama juga menyoroti kekayaan ekspresif bahasa Sunda, terutama dalam menyampaikan perasaan, rasa, dan nuansa hati yang mungkin sulit diungkapkan sepenuhnya dalam bahasa Indonesia.
Kisah bahasa Cia-Cia, yang dituturkan di Sulawesi Tenggara, menjadi unik ketika pada tahun 2009 Pemerintah Kota Baubau mengadopsi aksara Hangul (aksara Korea) sebagai sistem penulisannya. Keputusan ini didasari oleh keinginan untuk melestarikan bahasa Cia-Cia yang tidak memiliki sistem penulisan tradisional yang mapan, serta adanya anggapan kemiripan dalam pelafalan beberapa bunyi antara kedua bahasa.
Dilansir dari laman resmi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), meskipun aksara Hangul secara struktural dan fonetik cocok untuk bahasa Cia-Cia, penelitian menunjukkan tantangan dalam representasi fonologis dan penerimaan di masyarakat lokal. Penggunaannya pun masih cenderung simbolis dan belum sepenuhnya fungsional dalam keseharian.
Di Madagaskar, bahasa Malagasi memiliki akar yang memukau dalam rumpun bahasa Austronesia. Uniknya, hubungan terdekatnya adalah dengan bahasa Ma'anyan yang ada di Kalimantan.
Secara kuantitatif, penelitian Hendrokumoro dalam jurnal Metalingua menemukan bahwa bahasa Ma'anyan dan bahasa Malagasi memiliki hubungan kekerabatan sebesar 37%. Hasil ini mengindikasikan bahwa kedua bahasa tersebut berkerabat pada tingkat rumpun bahasa, mendukung hipotesis studi sebelumnya bahwa keduanya berasal dari proto-bahasa yang sama.
Hal ini juga mendukung teori bahwa penutur bahasa Malagasi bermigrasi dari daerah yang sama dengan penutur bahasa Ma'anyan. Lebih lanjut, secara kualitatif, ditemukan tujuh set korespondensi bunyi antara kedua bahasa.
Ini menunjukkan bahwa kesamaan tersebut bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari hubungan genetik linguistik yang dalam. Bahkan, penutur kedua bahasa saat ini pun dapat dengan mudah mengenali kemiripan dalam kosakata mereka.
Kajian mengenai kemiripan antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia dengan bahasa asing ini membuka cakrawala baru tentang kompleksitas dan kekayaan linguistik dunia.
Dari kesamaan tingkat bahasa antara Sunda dan Jepang, adopsi aksara Hangul oleh Cia-Cia, hingga jejak migrasi yang menghubungkan Ma'anyan dan Malagasi. (int)