Haji Tak Otomatis Suci, Kemabruran Ditentukan Niat dan Akhlak

pemerintahan | 14 April 2025 21:29

Haji Tak Otomatis Suci, Kemabruran Ditentukan Niat dan Akhlak
Haji adalah ibadah puncak dalam Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi setiap Muslim yang mampu secara fisik, mental, dan finansial. Ibadah ini dilaksanakan di Tanah Suci Makkah pada bulan Dzulhijjah dengan rangkaian ritual yang telah ditetapkan syariat, seperti ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, melempar jumrah, hingga tahallul. (dok portlas.clio.me)

SURABAYA, PustakaJC.co - Gelar "haji" kerap melekat sebagai simbol kehormatan dan religiositas seseorang. Namun, benarkah orang yang sudah berhaji pasti terhindar dari dosa dan maksiat? Pertanyaan ini menjadi penting saat status haji dijadikan pembelaan moral terhadap tindakan yang belum tentu sejalan dengan nilai Islam.

Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya al-Jami’ li Ahkamil Qur’an menjelaskan bahwa kewajiban haji hanya sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi yang mampu, baik secara fisik maupun finansial. (Jilid V, hlm. 215) Dikutip dari nu.or.id Senin, (14/4/2025).

Nabi Muhammad SAW menggambarkan keutamaan besar bagi mereka yang hajinya mabrur:

“Satu umrah ke umrah berikutnya menjadi penghapus dosa di antara keduanya. Dan haji mabrur tidak ada balasan lain kecuali surga.” (HR. Bukhari)

 

Namun, tidak semua haji otomatis mabrur. Banyak faktor yang menentukan diterimanya haji seseorang: mulai dari kehalalan bekal, kebersihan niat, hingga kesungguhan dalam melaksanakan rangkaian ibadah.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin menyinggung fenomena haji dengan motivasi duniawi:

dalam akhir zaman, menurutnya, banyak yang berhaji hanya untuk rekreasi, bisnis, mencari belas kasih, atau popularitas. Motivasi duniawi inilah yang bisa menggugurkan kemabruran.

Tanda-tanda seseorang meraih haji mabrur terlihat dari perubahan perilakunya pasca-haji. Ia menjadi lebih baik, menjauhi dosa, dan meningkatkan ibadah. Jika seseorang justru tetap terjerumus dalam kemaksiatan, atau bahkan merasa lebih mulia karena gelar hajinya, maka perlu dipertanyakan kualitas hajinya.

Muhammad bin Abdullah al-Jurdani dalam al-Jawahirul Lu’luiyah membagi level ibadah menjadi tiga:

  1. Ibadah sebatas menggugurkan kewajiban
  2. Ibadah dalam kesadaran bahwa Allah selalu mengawasi
  3. Ibadah dengan kehadiran hati seolah melihat Allah
    (hlm. 49)

Haji seharusnya menjadi latihan ruhani agar setiap Muslim terbiasa merasa diawasi oleh Allah, bahkan setelah pulang ke kampung halaman.

Ibadah haji bukanlah jaminan otomatis kesucian diri. Kemabruran bergantung pada keikhlasan, kehalalan bekal, dan akhlak yang tumbuh dari pengalaman spiritual di Tanah Suci. Haji sejati bukan soal status, tetapi perubahan nyata dalam iman dan perilaku. (Ivan)

Wallahu a’lam.