SURABAYA, PustakaJC.co - Penutupan layanan penerbangan komersial di Bandara Dhoho Kediri hingga Juli 2025 menuai sorotan tajam dari DPRD Jawa Timur. Wakil Ketua Komisi D, Khusnul Arif, mengingatkan bahwa bandara hasil Proyek Strategis Nasional (PSN) ini terancam menjadi “monumen sepi” jika tak segera diselamatkan dengan langkah konkret.
DPRD Jawa Timur meminta perhatian serius dari pemerintah pusat dan provinsi terkait penghentian layanan penerbangan komersial di Bandara Dhoho Kediri hingga akhir Juli 2025. Dilansir dari jatimpos.co, Sabtu, (21/6/2025).
Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim, Khusnul Arif dari Fraksi Partai NasDem menyatakan prihatin atas kondisi Bandara Dhoho yang kini tidak melayani penerbangan. Padahal, bandara ini dibangun melalui skema Proyek Strategis Nasional (PSN) dan telah menelan investasi triliunan rupiah dari PT Gudang Garam Tbk.
“Saya prihatin atas berhentinya layanan penerbangan Bandara Dhoho yang notabene adalah hasil proyek strategis nasional (PSN),” ujar Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim, Khusnul Arif, Jumat, (20/6/2025).
Menurutnya, penghentian ini menunjukkan lemahnya perencanaan strategis serta minimnya dukungan pemerintah dalam menjamin keberlanjutan PSN. Ia bahkan menilai pernyataan PT Angkasa Pura I terkait alasan perawatan armada Citilink sebagai penyebab penghentian layanan tidak cukup meyakinkan.
“Menurut saya ini alasan klasik. Saya menduga bukan karena maintenance, tapi karena okupansi penumpang yang memang masih rendah,” kata Khusnul.
Ia menjelaskan, minat penumpang rendah karena beberapa faktor. Di antaranya jadwal penerbangan yang hanya dua kali seminggu—setiap Rabu dan Jumat—serta hanya dilayani oleh satu maskapai, Citilink. Harga tiket yang lebih mahal dibanding Bandara Juanda juga membuat masyarakat lebih memilih terbang dari Sidoarjo.
“Calon penumpang dari Kediri raya lebih memilih alternatif lain yang lebih fleksibel dan ekonomis meski harus menempuh jarak lebih jauh,” jelasnya.
Khusnul menambahkan, keberadaan Tol Kertosono–Tulungagung yang mempermudah akses ke Bandara Juanda justru bisa semakin memperlemah posisi Bandara Dhoho. Untuk itu, ia mendesak evaluasi menyeluruh dengan melibatkan akademisi, praktisi, dan pemangku kepentingan dari 13 daerah penyangga bandara.
“Minimnya kolaborasi dan dukungan dari pemerintah daerah penyangga salah satunya karena kurangnya peran Pemprov Jatim sebagai jembatan antara Kabupaten Kediri dan 13 daerah lainnya,” kata Khusnul.
Menurutnya, daerah penyangga tidak bisa lepas tangan. Mereka harus ikut mendorong tumbuhnya sektor pariwisata dan industri di wilayah masing-masing.
“Ketika bicara pariwisata, orang akan berlama-lama berada di Kediri dan daerah sekitarnya. Ketika ada industri, akan makin banyak aktivitas dari luar Jatim masuk dan memanfaatkan Bandara Dhoho,” jelasnya.
Ia menegaskan perlunya menciptakan ekosistem ekonomi dan pariwisata yang bisa mendatangkan arus orang dan barang melalui bandara.
“Sudah semestinya semua pihak proaktif menciptakan ekosistem pariwisata dan industri yang mendukung bandara,” ujarnya.
Khusnul mengingatkan, nasib Bandara Dhoho akan mencerminkan kredibilitas pemerintah dalam mengelola PSN.
“Nasib Bandara Dhoho ini linier dengan harga diri pemerintah di mata publik. Jika ini gagal, bagaimana dengan PSN lain? Publik akan bertanya-tanya,” ucap Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim ini.
Ia menduga belum ada grand desain operasional bandara yang matang. Jika tak segera ditangani, Bandara Dhoho dikhawatirkan hanya akan menjadi simbol megah tanpa aktivitas.
“Tanpa langkah konkret dan intervensi serius dari pemerintah pusat dan provinsi, maka keberlangsungan Bandara Dhoho terancam. Bisa jadi nanti hanya akan menjadi monumen megah yang sepi,” pungkasnya. (ivan)