SURABAYA, PustakaJC.co - Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyampaikan apresiasi atas kebijakan pemerintah di sektor pendidikan. Meski begitu, ia menekankan pentingnya strategi jangka panjang agar perubahan di dunia pendidikan tak hanya bersifat sementara.
“Kami berharap ada strategi yang sifatnya long term. Mengacu kepada Astacita Pak Prabowo menuliskan secara eksplisit bahwa pemerintah akan menetapkan upah standar upah minimum bagi guru-guru non ASN. Saya pikir ini langkah yang sangat tepat jika direalisasikan segera sebagai solusi bagi guru-guru non ASN,” ujar Satriwan kepada Media Indonesia, Kamis, 1 Mei 2025.
Ia menyoroti rendahnya kesejahteraan guru honorer yang kerap dibayar di bawah upah minimum, jauh tertinggal dibanding buruh. Satriwan mencontohkan, di DKI Jakarta upah minimum bisa mencapai Rp5,6 juta, sedangkan di sejumlah daerah hanya Rp2 hingga Rp3 juta.
“Kalau guru-guru honorer itu tidak ada standar upah minimum sehingga upahnya itu terserah kepala sekolah saja,” lanjutnya.
Saat ini, banyak guru honorer hanya menerima Rp300 ribu hingga Rp500 ribu per bulan. Karena itu, ia menilai kebijakan pemerintah yang hanya memberikan bantuan tunai sebesar Rp300 ribu saat Hardiknas tidak menyentuh akar masalah.
“Ini kan rasa-rasanya seperti BLT (bantuan langsung tunai) ya. Jadi guru-guru honorer diberikan transfer Rp300 ribu seperti halnya pemberian BLT. Kami pikir itu sifatnya short term,” kritik Satriwan.
Lebih lanjut, Satriwan juga mengkritik stagnasi pembahasan Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas), yang meski sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas), belum menunjukkan kemajuan.
“Kami belum melihat DPR RI membuka ruang-ruang dialog dengan semua stakeholder pendidikan dan guru sampai hari ini. Kami pun belum membaca naskah akademik ataupun draft rancangan undang-undangnya untuk kita sama-sama uji, untuk kita sama-sama kritik dan memberikan masukan-masukan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa kabarnya RUU ini akan menggabungkan empat undang-undang, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, UU Perguruan Tinggi, dan UU Pesantren, namun prosesnya belum transparan.
Satriwan juga menyoroti program Sekolah Rakyat yang dinilainya belum siap secara akademis dan administratif. Ia mempertanyakan belum adanya naskah akademik sebagai landasan kebijakan.
“Hal yang kita baca itu baru pernyataan-pernyataan yang sifatnya itu parsial dari masing-masing kementerian... anggarannya juga cukup besar dan fantastis Rp100 miliar untuk 1 sekolah. Rencananya akan membangun 1 tahun ini targetnya 100 sekolah kabarnya begitu kan,” jelasnya.
Ia menilai model pengelolaan Sekolah Rakyat oleh Kementerian Sosial (Kemensos) berisiko tumpang tindih dengan tugas Kementerian Pendidikan.
“Harusnya ya kalau ini pengelolaannya berdasarkan Undang-Undang tadi, saya rasa ini mestinya dikelola oleh Kemendikdasmen gitu kan, bukan Kemensos. Karena Kemensos juga belum punya reputasi untuk mengelola sekolah, apalagi sekolah berasrama,” tutup Satriwan. (nov)