JAKARTA, PustakaJC.co – Program Sekolah Rakyat (SR) yang digulirkan pemerintah menuai perhatian akademisi. Meski punya semangat keberpihakan pada masyarakat kecil, Sekolah Rakyat dinilai berpotensi menimbulkan stigma sebagai lembaga pendidikan kelas dua bila tidak dikelola dengan visi yang kuat.
“Jika hanya menampung siswa dari keluarga tidak mampu, SR bisa dipersepsikan sebagai sekolah alternatif karena tak mampu masuk ke sekolah umum. Ini rawan melahirkan label negatif,” kata Danang Sigit W, Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Salatiga, dilansir dari nu.or.id, Senin, (4/8/2025).
Ia mengingatkan agar SR tidak sekadar menjadi program karitatif, tetapi harus hadir dengan nilai kuat, mutu unggul, dan identitas yang membanggakan. Salah satu kuncinya, kata Danang, adalah brand sekolah yang menekankan pada kualitas, bukan belas kasihan.
“Kalau SR mampu menunjukkan mutu, inovasi, dan nilai karakter yang kuat, masyarakat akan menilai berdasarkan kualitas, bukan latar belakang siswanya,” tegasnya.
Ia menyebut ada lima pendekatan agar Sekolah Rakyat tidak terseret stigma:
1.Fokus pada mutu dan karakter siswa.
2.Penguatan branding berbasis ideologi pendidikan kerakyatan.
3.Keterbukaan sosial lintas ekonomi.
4.Kolaborasi dengan kampus, NGO, dan tokoh publik.
5.Membangun kebanggaan kolektif, bukan rasa minder.
“Ketika SR menjadi ruang belajar lintas kelas sosial, stereotipe akan memudar,” tambah Danang.
Sementara itu, akademisi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Nasiruddin, mengingatkan soal legalitas dan mutu pengajaran. Ia menilai, SR masih berada di wilayah abu-abu hukum pendidikan nasional.
“Ijazahnya belum tentu diakui, dan ini bisa membingungkan peserta didik untuk melanjutkan pendidikan atau mencari pekerjaan,” jelasnya.
Ia juga menyoroti ketimpangan kualitas pengajar dan metode belajar yang terlalu informal, yang bisa menurunkan mutu lulusan.
“Jangan sampai SR jadi pelarian negara atas buruknya sistem pendidikan formal. Harus ada evaluasi menyeluruh agar ini bukan solusi semu,” pungkas Nasiruddin.
Sekolah Rakyat semestinya tak sekadar menjadi ruang darurat bagi siswa miskin, melainkan simbol baru pendidikan alternatif yang inklusif, berkualitas, dan membanggakan. Jika dikelola dengan visi besar, SR bisa menjadi terobosan yang memperkuat keadilan dan kesetaraan pendidikan di Indonesia. (ivan)