Tetapi pada masa kini perjuangan dan gagasan Thamrin lenyap. Namanya hanya dikenang sebagai ruas jalan dan beragam tempat lainnya. Bagi masyarakat Betawi, nama Thamrin tidak lebih besar ketimbang Si Pitung maupun Si Jampang.
Dua orang ini memang simbol perlawanan menggunakan otot, sementara Thamrin selalu berpakaian barat, bermata biru, dekat dengan pemerintah kolonial, tetapi jauh dari agama. Tidak mengesankan kebetawian sama sekali.
Guru besar sejarah Universitas Indonesia, Susanto Zuhdi mengatakan gagasan dan peran Thamrin lenyap karena kegagalan seseorang memilih apa yang perlu diingat dan dilupakan. Sebuah problematika sejarah.
Pada kasus Thamrin, upaya mengingatnya hari justru abai dengan penggalian gagasan dan perannya. Thamrin kehilangan kedigdayaan dalam pikiran masyarakat hari ini. Padahal perannya begitu besar bagi masyarakat.
Dirinya memperbaiki kampung, peduli pada penindasan pengusaha perkebunan terhadap kuli di Sumatra, dan menyumbang dana untuk klub sepak bola di Batavia demi menumbuhkan rasa kebangsaan.