“Sekolah saya juga dulu bagus sekali. Kita didorong untuk menulis dan mengirim karya ke majalah-majalah yang terkenal,” ujar Leila yang karya pertamanya dimuat di majalah “Si Kuncung” saat ia masih genap berusia 12 tahun.
Barulah ketika beranjak ke Sekolah Menengah Atas (SMA) dan universitas, kedua orangtua Leila menyerahkan sepenuhnya kesempatan untuk memilih. Leila pun meneruskan pendidikannya ke Kanada dan mengambil studi Political Science dan Comparative Development Studies. Baginya, pilihan untuk mengambil studi humaniora adalah modal kuat agar bisa menjadi seorang jurnalis yang handal.
Leila mengaku sempat heran sekaligus kagum ketika ingatannya terlempar pada pengalaman pahit selama menjadi jurnalis. Saat masa Orde Baru, media tempatnya bekerja memang sempat dibredel. Namun Leila merasa bangga karena ia beserta teman-temannya bisa bertahan hingga kini.
Setelah puluhan tahun menjadi jurnalis, Leila akhirnya melahirkan karya berupa buku. “Ini berkat anak saya,” terangnya. Bagaimana tidak, sang anak ingin Leila terus menulis karena ia percaya sang ibu akan menjadi penulis yang terbaik. Karyanya yang berjudul “9 dari Nadira” dan “Malam Terakhir” pun terbit pada tahun 2009 dan disusul dengan “Pulang” setelah empat tahun riset di berbagai tempat.