“Saya menulis karena ‘ada cerita’, tidak ingin ada beban untuk membangun revolusi atau membuat dunia berubah. Bahwa kemudian nantinya ada persoalan human rights atau lainnya, itu akan inheren dengan sendirinya,” tutur Leila. Ya, baginya menulis adalah menceritakan gagasan. Ia yakin bahwa ada sesuatu di belakang tulisannya yang kelak akan terasa dengan sendirinya.
Leila juga tak pernah merasa bahwa isu komunisme yang ia angkat di dalam novelnya itu begitu sensitif. Ia hanya menceritakan apa yang ia saksikan ketika berada di Eropa, yakni ketika bertemu para tahanan politik yang terjebak dan tak bisa pulang di negeri orang. “Suatu saat saya harus menulis tentang mereka,” kalimat itulah yang sepintas ada di benaknya.
Seperti sastrawan lainnya, Leila juga memiliki begitu banyak orang yang menjadi inspiratornya. Ibu dari satu anak ini mengaku bahwa ia sudah membaca karya Charles Dickens saat usianya masih sangat dini. Orang yang menginspirasi lainnya juga datang dari Orhan Pamuk, Alice Munro dan masih banyak lagi.