Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG) telah banyak melahirkan tokoh yang berkiprah di berbagai bidang. Di antara jutaan alumninya, ada dua sosok penting yang tercatat dalam sejarah sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), yaitu KH Idham Chalid dan KH Hasyim Muzadi sebagai alumni Pesantren Gontor.
Oleh: Intan Ayu
KH Idham Chalid memimpin PBNU selama 28 tahun, yakni sejak tahun 1956 hingga tahun 1984. Kepiawaiannya dalam memimpin organisasi masyarakat (Ormas) Islam terbesar ini tidak lain berkat pengetahuan dan pengalamannya ketika belajar di Pondok Pesantren Gontor.
Kiai Idham menamatkan pendidikannya di pesantren yang didirikan oleh Kiai Sulayman Jamaluddin ini pada tahun 1942 (Ensiklopedia NU: 2014). Saat itu, kiai asal Amuntai, Kalimantan Selatan tersebut berhasil menyelesaikan studinya di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah (KMI). Sebagaimana dilansir dari situsweb resmi Gontor, KMI merupakan sebuah program yang baru didirikan pada 19 Desember 1936.
Kelulusannya dari program tersebut mengukuhkan sosoknya sebagai seorang guru agama. Karenanya, setelah lulus, ia mengabdi di almamaternya sebagai guru pada tahun 1943-1944. Bahkan, disebutkan dalam Ensiklopedia NU, Kiai Idham yang saat itu masih berusia 23 tahun sudah diberi amanah menjadi Ketua Umum Badan Wakaf Pondok Modern Gontor.
Namun, tak selang berapa lama, Kiai Idham memilih untuk pulang kampung. Di sana, ia kembali meniti karir sebagai seorang yang berjuang untuk masyarakat. Ia terpilih sebagai Ketua Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) cabang Amuntai pada tahun 1944 dan menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Sementara (DPRS) mewakili Masyumi pada tahun 1950.
Di situlah, ia mulai dekat dengan sosok KH Abdul Wachid Hasyim, bahkan menjadi sekretaris pribadinya, saat ayah dari KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu menjabat sebagai Menteri Agama.
Kiai Idham pun melesat dalam kepengurusan PBNU, mulai dari Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif, pimpinan Gerakan Pemuda Ansor, Sekretaris Umum PBNU. Puncaknya, ia terpilih sebagai Ketua Umum PBNU pada tahun 1956 saat Muktamar di Medan, Sumatra Utara.