KH Abdul Wahid Hasyim Asy’ari dalam Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara (18)

Perjalanan Ilmu dan Tantangan Pemikiran

tokoh | 07 Maret 2025 10:46

Perjalanan Ilmu dan Tantangan Pemikiran
KH Abdul Wahid Hasyim bersama istri dan anak-anak (dok arsip tebuireng)

Oleh: Ivan Febriyanto

Bagaimana seorang ulama muda mampu menjembatani tradisi pesantren dengan gagasan modernitas? Bagaimana beliau menghadapi tantangan zaman tanpa kehilangan jati diri Islam Nusantara?

SURABAYA, PustakaJC.co - Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara karya Aguk Irawan, M.N. bukan sekadar biografi, melainkan rekaman jejak seorang pemikir besar yang pengaruhnya masih terasa hingga kini.

Aguk merangkai kisah dengan narasi yang kuat, membangun suasana yang membuat pembaca bukan hanya memahami sejarah, tetapi juga merasakan ketegangan, harapan, dan perjuangan seorang tokoh besar yang berusaha menjaga Islam Nusantara tetap tegak berdiri.

Sejak muda, K.H. Abdul Wahid Hasyim sudah menunjukkan kecemerlangan berpikirnya. Saat mengembara ke Makkah, beliau tidak hanya menuntut ilmu dari para ulama besar, tetapi juga mengamati bagaimana perubahan sosial dan keagamaan berlangsung di Haramain. Salah satu adegan paling menggentarkan dalam buku ini adalah ketika beliau menyaksikan bagaimana kaum Wahabi menekan kebebasan bermazhab di tanah suci.

 

Salah satu bab paling menggetarkan dalam buku ini adalah bagaimana K.H. Abdul Wahid Hasyim berjuang dalam Nahdlatul Ulama (NU) dan dunia pendidikan.

Ketika banyak pihak masih menganggap pesantren hanya sebagai tempat belajar kitab kuning dan menolak gagasan modernisasi, beliau datang dengan pemikiran yang mengguncang.

Dengan suara tegas dan penuh keyakinan, beliau pernah berkata,

“Jika umat Islam ingin maju, maka pendidikan harus lebih luas! Santri harus bisa memahami dunia, menguasai bahasa, dan memimpin bangsa!”

Pernyataan ini mengundang berbagai reaksi. Ada yang mendukung dengan penuh harapan, tetapi tidak sedikit pula yang mencibir. Di dalam NU sendiri, gagasan beliau tentang pendidikan modern sempat dianggap terlalu berani.

 

Namun, beliau tidak mundur. Dengan penuh keberanian, beliau mendirikan madrasah dengan kurikulum yang tidak hanya berisi ilmu agama, tetapi juga ilmu umum, seperti matematika, sejarah, dan bahasa asing.

Reaksi Aguk dalam buku ini begitu terasa. Dalam salah satu bagian, ia menuliskan dengan penuh emosi:

“Bayangkan! Seorang ulama muda, di tengah gelombang kiai-kiai konservatif yang menolak perubahan, berdiri tegak dan berkata: ‘Kita harus berubah, atau kita akan tertinggal!’ Ini bukan sekadar reformasi, ini adalah revolusi pemikiran!”

Bagaimana mungkin seorang pemuda berusia 27 tahun mampu mengubah wajah pendidikan pesantren? Bagaimana mungkin seorang santri yang besar dalam lingkungan tradisional justru menjadi pelopor pendidikan modern?

Jawabannya ada pada keberanian beliau dalam berpikir dan bertindak.Ketika akhirnya beliau dipercaya untuk memimpin Kementerian Agama, beliau tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.

 

Dalam waktu singkat, beliau menetapkan kurikulum agama dalam sistem pendidikan nasional, memperjuangkan hak-hak santri, dan memastikan bahwa nilai-nilai Islam tetap menjadi bagian dari karakter bangsa.

Salah satu kebijakan besar beliau yang mengguncang adalah mewajibkan pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri. Kebijakan ini sempat mendapat penolakan keras dari berbagai pihak, tetapi beliau tetap teguh.

“Agama harus menjadi ruh pendidikan kita!” tegas beliau dalam salah satu sidang penting.

“Ketika saya menulis bagian ini, saya merasa seolah-olah berada di ruangan itu. Saya bisa mendengar suara tegas K.H. Abdul Wahid Hasyim, melihat bagaimana beliau berhadapan dengan para elite yang menentangnya. Ini bukan sekadar kebijakan, ini adalah perlawanan terhadap sekularisasi yang ingin mencabut ruh Islam dari pendidikan bangsa!” ujar Aguk dalam bukunya dengan penuh kebanggaan

 

Aguk dalam bukunya dengan cermat menggambarkan bahwa K.H. Abdul Wahid Hasyim bukan hanya ulama, tetapi juga seorang pemikir yang memahami bahwa Islam harus terus beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan esensi ajarannya.

Beliau membuktikan bahwa seorang santri bisa menjadi pemimpin, seorang ulama bisa menjadi pemikir, dan seorang pemikir bisa menjadi agen perubahan.

Buku Sang Mujtahid Islam Nusantara bukan hanya untuk mereka yang ingin mengenal sosok K.H. Abdul Wahid Hasyim, tetapi juga bagi siapa saja yang ingin memahami bagaimana Islam Nusantara berkembang dan bertahan di tengah berbagai tantangan zaman. Pemikiran dan perjuangan beliau telah meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Islam di Indonesia. Kini, giliran kita untuk menjaga dan melanjutkan warisan berharga ini.