CILEDUG, PustakaJC.co – Lahir dari rahim seorang ibu pengungsi revolusi, besar di bawah asuhan kiai pencipta lambang NU, hingga menjadi saksi dan pelaku seni rupa dari era Orde Lama hingga Reformasi Mansyur HB adalah potret seniman lintas zaman yang tetap setia pada kuas dan nilai.
Pelukis kelahiran Kediri tahun 1946 ini memiliki nama lengkap Mansyur Hasan Basri, disingkat HB, mengikuti nama sang ayah, seorang tukang sol sepatu yang turut berjuang saat agresi militer Belanda. Masa kecil Mansyur dilalui di Kawatan, Surabaya. Sejak remaja ia sudah mengaji kepada KH Ridwan Abdullah—kiai NU pencipta lambang Nahdlatul Ulama.
“Saya belajar melukis karena ibu saya. Bukan karena dia mengajari, tapi karena dia yang melahirkan saya,” ujar Mansyur kepada NU Online, Kamis malam (20/3/2025), di kediamannya, Ciledug, Tangerang.
Gaya naturalisnya dipengaruhi M Sochieb, pelukis pertempuran 10 November, yang menjadi gurunya. Ia bahkan sempat menjadi asisten Sochieb. Sejak itu, lukisan Mansyur banyak menampilkan kehidupan rakyat jelata—terutama nelayan dan laut. Tema yang jarang disentuh pelukis Indonesia.
“Laut itu bukan hanya hamparan air. Di sana ada doa, perjuangan, dan hidup masyarakat kita,” tegas Mansyur.
Pameran tunggalnya bertajuk “Citra Bahari dalam Goresan Warna” tahun 2017 menjadi penanda betapa laut adalah jiwa dalam karyanya. Dari 40 lukisan yang dipamerkan, 65 persen bertema maritim. Ia disebut sebagai pelukis yang “berjaya di laut” oleh pengamat seni Agus Dermawan.
“Untung ada Mansyur H.B. yang peduli dengan jagat laut Indonesia,” tulis Agus dalam pengantar pameran tersebut.
Meski mengaku tak pernah tahu soal Lesbumi NU pada 1960-an, Mansyur aktif dalam kegiatan kebudayaan NU. Salah satunya saat ia ikut dalam pameran lukisan Islam saat Konferensi Islam Asia Afrika (KIAA) 1965 di Bandung. Ia diajak oleh sahabatnya, Hayat.
“Kita ini orang-orang NU. Orang-orang NU harus bantu NU,” ujar Hayat, yang diamini Mansyur.
Usai KIAA, mereka mengadakan pameran keliling di beberapa kota di Jawa Timur. Walau saat itu para kiai tak banyak yang mendukung seni rupa, namun mereka juga tidak melarang.
Pada era 1970-an, Mansyur sempat menjadi fotografer majalah Selecta, majalah populer yang memuat budaya, hiburan, dan selebritas. Ia bahkan memotret aktris Eva Arnaz dan bepergian ke luar negeri bersama redakturnya, Sjamsudin Lubis.
Namun, panggilan hati pada lukisan tak bisa ditinggalkan. Ia kembali ke dunia seni rupa hingga kini, di usianya yang hampir 80 tahun. (ivan)