SURABAYA, PustakaJC.co - Usulan menjadikan Presiden ke-2 RI, Soeharto, sebagai pahlawan nasional kembali menuai kontroversi. Nama penguasa Orde Baru itu kembali diajukan ke Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) tahun 2025. Meski bukan kali pertama, langkah ini tetap memantik perdebatan tajam di publik.
Sejak 2010, Soeharto telah berkali-kali diusulkan mendapat gelar pahlawan nasional. Namun, usulan itu selalu terbentur TAP MPR Nomor XI Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN. Kini, setelah namanya dicabut dari pasal 4 TAP tersebut, Kementerian Sosial menilai Soeharto sudah memenuhi syarat formal. Dilansir dari nu.or.id, Selasa, (4/11/2025).
Namun, banyak pihak menilai pencabutan nama itu tak otomatis menghapus dosa sejarahnya. Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2009, pahlawan nasional harus memiliki integritas moral dan keteladanan, bukan sekadar jasa politik atau ekonomi. Dalam hal ini, rekam jejak Soeharto dianggap gelap: dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) hingga pelanggaran HAM berat.
Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto membangun sistem kekuasaan yang menempatkan hukum di bawah kepentingan politik. Di bawah slogan “pembangunan,” tumbuh subur praktik KKN yang mengakar dari pusat hingga daerah. Laporan Transparency International (2004) bahkan menobatkan Soeharto sebagai pemimpin paling korup di dunia, dengan dugaan penyelewengan dana publik mencapai US$15–35 miliar.
Selain itu, rezim Orde Baru juga dikenal sebagai masa kelam bagi kebebasan pers. Puluhan media dibredel, di antaranya Tempo, Editor, dan Detik, karena memberitakan penyimpangan proyek militer dan bisnis kroni. Pers dijinakkan melalui izin terbit SIUPP, menjadikan media tak ubahnya corong kekuasaan.
Tak berhenti di situ, pelanggaran HAM besar juga mewarnai kekuasaan Soeharto: mulai dari pembunuhan massal 1965–1966, Tragedi Tanjung Priok 1984, hingga penculikan aktivis 1997–1998. Ribuan korban dan keluarga hingga kini belum mendapatkan keadilan.
Menjadikan Soeharto pahlawan nasional, bagi banyak kalangan, dianggap sebagai penghinaan terhadap sejarah dan amanat Reformasi 1998. Seperti dikatakan penulis Aji Muhammad Iqbal dalam opininya di NU Online, “Menolak Soeharto bukan berarti menolak sejarah, tapi menjaga agar sejarah tidak dipalsukan.”
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto bukanlah bentuk rekonsiliasi, melainkan legitimasi terhadap kejahatan politik masa lalu. Bayang-bayang kelam Orde Baru masih terlalu panjang untuk dilupakan begitu saja. (ivan)