Dalino, salah satu warga Kampung Pitu yang menetap setelah menikah dengan salah satu trah keluarga Iro Kromo, tak mau banyak berkomentar tentang aspek mistis desa yang ia tinggali. Soal pantangan tujuh KK pun, ia lebih memilih alasan yang lebih logis.
"Mungkin dari dulu tujuh itu karena akses ke sini memang susah, apalagi kalau hujan jalanan ke bawah itu jadi lumpur semua. Pas saya pindah ke sini masih zaman larangan pangan, panen cuma sekali setahun, itupun diganggu sama hama kera, secara ekonomis susah," terang Dalino, mengutip Vice.
Memang, mitos yang melingkupi Kampung Pitu sulit dijelaskan secara rasional, tapi dampak terhadap ekosistem lingkungan bisa dirasakan oleh warganya sendiri. Karena itu, Redjo sebagai juru kunci masih punya tugas untuk tetap menjaga jalannya tradisi di puncak gunung Nglanggeran tersebut.
"Sayang juga ya, tanahnya luas dan sejuk tapi enggak bisa ditinggali orang lain. Tapi memang harus begitu, harus patuh sama alam," pungkas Redjo. (int)