YOGYAKARTA, PustakaJC.co - Bolehkah menyelipkan candaan atau humor dalam dakwah dan ceramah agama? Jawabannya adalah boleh. Bahkan, menggunakan humor dalam dakwah dianjurkan untuk tetap menarik fokus para pendengar.
Gus Dur dalam berbagai catatan juga menunjukkan bahwa beliau kerap menggunakan humor dalam mengenalkan Islam
Akan tetapi, humor atau bercandaan yang diselipkan dalam ceramah agama tentu tidak bisa semena-mena. Ada batasan-batasan yang perlu diperhatikan oleh para mubalig atau pendakwah saat melontarkan candaan ke pendengar. Apalagi, mubalig merupakan sosok yang dianggap memiliki ilmu lebih sehingga kerap kali mereka dimuliakan dan dianut oleh masyarakat.
Dalam dunia candaan, ada beberapa istilah yang merujuk pada kondisi yang berbeda sehingga candaan itu dapat dimaknai berbeda. Beberapa jenis candaan itu di antaranya roasting, humor, dan penghinaan. Ketiganya memiliki perbedaan yang cukup tipis. Oleh karena itu, masyarakat biasanya cukup sulit untuk membedakan garis antara humor dan penghinaan.
Sebagaimana dilansir dari Jalili, dkk. (2024), roasting merupakan suatu bentuk komedi yang menjadikan seseorang sebagai objek ejekan atau kritik. Tujuannya tentu untuk menghibur. Akan tetapi, roasting dalam konteks budaya populer kerap kali adanya unsur kesepakatan atau konsensus antar keduanya.
Maksudnya jelas, keduanya sepakat untuk menyadari bahwa ejekan tersebut dilakukan dalam semangat humor dan bukan untuk merendahkan martabat.
Kesepakatan antarkeduanya ini juga berfungsi sebagai perlindungan psikologis bagi subjek yang di-roasting, meskipun nantinya kritik yang disampaikan bisa sangat tajam.
Sementara itu, humor merupakan ucapan, tindakan, atau tulisan yang bertujuan murni untuk menimbulkan tawa atau kesenangan tanpa harus merugikan orang lain. Dalam hal ini, humor berfungsi sebagai alat sosial untuk mempererat hubungan, mengurangi ketegangan, dan meningkatkan suasana hati.
Kemudian, jenis candaan yang ketiga ialah ejekan atau penghinaan. Penghinaan merupakan ucapan atau tindakan yang ditujukan untuk merendahkan, mempermalukan, atau menyakiti orang lain. Tidak seperti humor atau roasting yang memiliki tujuan menghibur, penghinaan secara langsung bertujuan untuk menyakiti perasaan atau merusak reputasi seseorang.
Ada perbedaan yang cukup mendasar antara roasting dengan penghinaan, yakni terkait konsensus. Jika roasting telah terjadi kesepakatan antara dua belah pihak, penghinaan dilakukan tanpa adanya persetujuan dari salah satu pihak.
Humor atau candaan menjadi teknik yang cukup populer digunakan dalam dakwah dan ceramah agama. Hal ini tidak terlepas dari fungsi humor itu sendiri yang bisa dibilang cukup penting.
Dakwah yang disertai humor biasanya dilandaskan pada beberapa hal. Misalnya, selingan humor dalam dakwah dipercaya mampu menjadi penarik perhatian pendengar. Apalagi, dakwah atau ceramah agama biasanya dilakukan selama 2 (dua) jam sehingga para jamaah kerap merasa suntuk.
Adanya humor diharapkan dapat menarik kembali perhatian para pendengar sehingga pesan penting yang akan disampaikan oleh para pendakwah akan lebih efektif (Mahdaniar & Surya, 2022).
Humor dalam dakwah juga akan menjadikan kajian lebih santai dan menyenangkan bagi jamaah. Oleh karena itu, biasanya, dai atau mubalig yang memiliki gaya ceramah dengan disertai humor, banyak disenangi masyarakat.
Melihat dari fungsi tersebut, Islam tidak melarang adanya unsur humor dalam hubungan sosial, termasuk dakwah, asalkan masih dalam kaidah: sesuai etika, merupakan sebuah kebenaran, dan tidak menyinggung perasaan orang lain. Istiningtyas (2016) bahkan menyatakan bahwa humor dapat membawa pada kesejahteraan psikologis dan menjaga hubungan sosial.
Lebih lanjut lagi, dalam kaidah humor sufi, humor yang digunakan dalam dakwah harus menyampaikan pesan-pesan agama sehingga humor tidak kosong akan kandungan nilai-nilai agama. Humor jangan sampai ada unsur ghibah dan peremehan terhadap seseorang, suku atau bangsa tertentu (Marwan, 2013).
Beberapa penelitian telah mengungkapkan prinsip humor yang harus dipegang oleh semua orang saat bersosialisasi, apalagi jika candaan tersebut dilontarkan di depan publik. Ridwan sebagaimana dikutip oleh Japarudin (2017) menetapkan empat kriteria atau prinsip humor sebagai dasar kepatutan humor yang dapat disisipkan dalam dakwah.
Pertama, pendidikan, artinya humor harus disertai pesan pendidikan dan misi pencerahan sehingga tidak kosong. Kemudian kritis, yang mendorong para mubalig, dai, atau pendakwah melontarkan humor untuk mengajak pendengar bersama-sama menganalisis berbagai ketidakseimbangan dalam kehidupan nyata.
Ketiga, humor dalam dakwah harus tidak rasis, maksudnya humor tidak merendahkan, menghujat, atau menstigmatisasi seseorang, institusi, agama, ras, atau golongan. Keempat, humor tidak berunsur pornografi atau tidak seksis, artinya humor tidak mengandung unsur cabul dan tidak ada eksploitasi tubuh.
Lebih lanjut lagi, penggunaan humor dalam dakwah juga perlu ditekankan agar tidak boleh lebih dominan dibandingkan isi pesan dakwah. Harapannya, humor yang sesuai proporsinya itu tidak menghilangkan substansi dan esensi dari dakwah (Mahdaniar & Alan, 2022).
Oleh karena itu, perlu sense of humor yang bagus agar seseorang dapat melontarkan candaan yang sesuai etika dan kaidah Islam. Kemampuan dalam memberikan candaan juga perlu untuk dilatih agar humor tersebut tepat sasaran dan sesuai dengan tujuan. (int)