Oleh: Ivan Febriyanto
GRESIK, PustakaJC.co – Senja mulai meredup di langit Pondok Pesantren Mambaus Sholihin. Suasana berbuka puasa mulai mewarnai setiap sudut pesantren. Di kantin pondok sudah berjajar berbagai hidangan untuk para santri. Nasi dan lauk-pauk, sudah tertata rapi di atas daun pisang, begitupun dengan minuman seperti air putih serta teh manis, telah menanti untuk melegakan dahaga para santri.
Namun, tak satupun santri yang terlihat menikmati hidangan yang sudah tersedia. Bukan karena tidak lapar, tapi karena ada santapan lain yang lebih utama, yakni ilmu. Dalam tradisi para santri berbuka puasa bukan sekadar soal makan dan minum. Sebelum menikmati hidangan, para santri lebih dulu mengisi waktu dengan kajian dan diskusi keislaman. Tradisi ini bukan hanya menunggu bell Maghrib, tetapi juga menambah kedalaman ilmu dan iman.
Di antara lingkaran santri, Afif membuka diskusi. "Kalau kita bicara puasa, banyak orang hanya fokus pada menahan lapar dan haus. Padahal, puasa lebih dari itu. Apa ada yang ingat definisi puasa menurut fikih?" tanyanya.
Firhad, santri yang gemar membaca kitab kuning, langsung menanggapi.
الإمساك عن شهوتي البطن والفرج من طلوع الفجر إلى غروب الشمس بنية
"Puasa itu menahan diri dari dua syahwat, yaitu perut dan kemaluan, sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, dengan niat."
Faris, sang hafidz Al-Qur'an, menimpali dengan ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
"Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS. Al-Baqarah: 183)
Mendengar itu, Nawaf langsung mengangkat tangan. "Tapi kalau orang puasa cuma sekadar nahan lapar, tapi masih ngomongin orang, puasanya gimana?"
Firhad tersenyum. "Itu bahaya, Nawaf. Rasulullah SAW sudah mengingatkan kita dalam hadis:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالْعَطَشُ
“Banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya selain rasa lapar dan haus.' (HR. Ahmad)"
Fasya, yang sejak tadi sibuk memastikan makanan tetap rapi, akhirnya ikut bicara. "Kalau begitu, puasa itu bukan sekadar nahan lapar, tapi juga nahan lisan?"
Afif mengangguk. "Iya, makanya dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali membagi puasa jadi tiga tingkatan. Ada puasa orang awam, puasa orang khusus, dan puasa khususul khusus."
"Bedanya apa?" tanya Nawaf antusias.
"Puasa awam itu hanya menahan diri dari makan dan minum. Puasa khusus itu menahan anggota tubuh dari maksiat. Nah, puasa khususul khusus, ini yang paling tinggi, yaitu menjaga hati dari segala hal selain Allah."
Faris kembali menyambung dengan hadis:
إِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلَا يَرْفُثْ وَلَا يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ
"Jika salah seorang di antara kalian sedang berpuasa, maka janganlah ia berkata kotor dan bertengkar. Jika ada yang mencelanya atau mengajaknya bertengkar, hendaklah ia mengatakan, 'Saya sedang berpuasa.'" (HR. Bukhari & Muslim)
Fasya manggut-manggut. "Jadi puasa itu bukan sekadar ibadah fisik, tapi ibadah hati juga?"
Firhad tersenyum lebar. "Tepat! Puasa yang benar itu seperti latihan spiritual. Kita gak cuma berhenti makan, tapi juga berhenti dari segala hal yang bisa merusak jiwa."
Adzan Maghrib berkumandang, menandakan waktu berbuka. Para santri mulai menyantap hidangan dengan penuh kesyukuran. Di Pondok Mambaus Sholihin, berbuka puasa bukan hanya tentang kenyang, tetapi juga tentang menambah ilmu dan memperkuat iman. Sebuah tradisi yang mengajarkan bahwa perut bisa menunggu, tapi hati harus selalu terisi.