SURABAYA, PustakaJC.co - Tradisi penggalangan dana kolektif untuk kurban kambing atau domba mulai marak di lingkungan sekolah menjelang Iduladha. Namun, bagaimana pandangan fikih terhadap praktik ini? Apakah sah sebagai kurban? Berikut penjelasan para ulama.
Menjelang Hari Raya Iduladha, banyak sekolah menyelenggarakan program kurban kolektif. Umumnya, siswa menyumbang sejumlah dana yang kemudian dikumpulkan untuk membeli satu ekor kambing atau domba. Tujuannya mulia melatih kepedulian sosial dan semangat berbagi. Namun, apakah patungan seperti ini memenuhi syarat sahnya ibadah kurban? Dilansir dari nu.or.id, Kamis, (15/5/2025).
Mengacu pada hadits Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, pembagian kurban secara kolektif hanya berlaku pada hewan besar seperti sapi dan unta:
نَحَرْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَ الْحُدَيْبِيَةِ الْبَدَنَةَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ
“Kami pernah menyembelih kurban bersama Rasulullah SAW pada tahun Hudaibiyah. Seekor unta (al-badanah) untuk tujuh orang, begitu pula sapi.” (HR. Muslim)
Sedangkan kambing, berdasarkan hadits Aisyah RA, hanya bisa dikurbankan oleh satu orang, meski pahalanya bisa mencakup keluarganya:
ثُمَّ أَخَذَهَا وَأَخَذَ الْكَبْشَ فَأَضْجَعَهُ ثُمَّ ذَبَحَهُ، ثُمَّ قَالَ: بِاسْمِ اللَّهِ،
اللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنْ مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَمِنْ أُمَّةِ مُحَمَّدٍ، ثُمَّ ضَحَّى بِهِ
“Nabi SAW mengambil kambing, membaringkannya, lalu menyembelihnya. Beliau berkata: ‘Bismillah, Ya Allah terimalah (kurban ini) dari Muhammad, keluarga Muhammad, dan umat Muhammad.’” (HR. Muslim)
Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ menjelaskan bahwa kambing hanya sah untuk satu orang yang berkurban, meski pahala dan nilai syiar bisa meluas ke keluarganya:
تُجْزِئُ الشَّاةُ عَنْ وَاحِدٍ، وَلَا تُجْزِئُ عَنْ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدٍ، لَكِنْ إِذَا ضَحَّى بِهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ تَأَدَّى الشِّعَارُ فِي حَقِّ جَمِيعِهِمْ
“Seekor kambing cukup untuk satu orang, tidak mencukupi untuk lebih dari satu. Namun jika satu orang dalam keluarga menyembelihnya, maka syiar kurban telah terpenuhi untuk seluruh keluarga.” (Al-Majmu’, juz 8, hlm. 397)
Ulama kontemporer seperti Muhammad Amin al-Harari memperjelas bahwa kebolehan Nabi menyertakan umatnya dalam kurban adalah kekhususan beliau, bukan umat biasa:
قُلتُ: تَضْحِيَةُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أُمَّتِهِ مَخْصُوصٌ بِهِ، وَالصَّحَابَةُ كَانُوا يُضَحُّونَ الشَّاةَ الْوَاحِدَةَ، يَذْبَحُهَا الرَّجُلُ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ
“Kurban Rasulullah SAW atas nama umat adalah kekhususan bagi beliau. Para sahabat biasa menyembelih satu kambing untuk diri dan keluarganya.” (Syarh Sunan Ibnu Majah, Juz 18, hlm. 381)
Berdasarkan dalil dan pendapat ulama tersebut, praktik patungan untuk membeli kambing atau domba secara kolektif tidak sah sebagai kurban jika diniatkan atas nama banyak orang yang bukan satu keluarga. Kegiatan ini lebih tepat dikategorikan sebagai sedekah daging di bulan Dzulhijjah, bukan sebagai ibadah kurban dalam pengertian fikih.
Meski demikian, praktik ini tetap membawa manfaat sosial dan edukatif bagi siswa. Oleh karena itu, sekolah-sekolah tetap dianjurkan menyelenggarakan program semacam ini sebagai media pembelajaran, namun dengan pemahaman yang tepat mengenai status ibadahnya. (ivan)
Wallahu a‘lam bisshawab.