Pernikahan Dini dalam Pandangan Islam dan Aturan Negara

bumi pesantren | 24 Mei 2025 10:07

Pernikahan Dini dalam Pandangan Islam dan Aturan Negara
Ilustrasi pernikahan dini. (dok inijabar.com)

SURABAYA, PustakaJC.co - Islam memang tidak menentukan batas usia nikah secara eksplisit. Namun, ulama menyepakati bahwa kesiapan fisik, mental, dan sosial adalah syarat mutlak. Negara hadir menetapkan batas usia agar pernikahan tak menjadi jebakan kemiskinan dan perceraian dini.

Pernikahan dini masih menjadi fenomena serius yang berulang di banyak wilayah Indonesia. Meski dibenarkan dalam fiqih dengan syarat-syarat tertentu, praktiknya kerap menimbulkan persoalan: dari perceraian cepat, putus sekolah, hingga tekanan psikologis berkepanjangan. Dilansir dari nu.or.id, Sabtu, (24/5/2025).

Menurut pandangan Islam, pernikahan adalah ibadah sakral yang bertujuan menghadirkan sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tetapi, tanpa kesiapan lahir batin, nilai-nilai itu bisa gagal terwujud. Hal ini pernah dibahas dalam Muktamar NU ke-32 di Makassar, 2010, yang menegaskan bahwa meskipun syariat memperbolehkan, pernikahan sebaiknya dilangsungkan setelah usia baligh dan siap secara mental dan sosial.

Hadis yang sering dijadikan rujukan dalam diskusi ini ialah pernikahan Nabi Muhammad saw. Dengan Aisyah ra.:

تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِسِتِّ سِنِينَ وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ

“Rasulullah saw menikahiku saat usiaku enam tahun, dan mulai hidup bersamaku saat usiaku sembilan tahun.” (HR. Muslim)

Namun, Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menekankan bahwa pernikahan anak kecil hanya dibolehkan dalam kondisi tertentu dan tetap lebih utama ditunda. Ia menyatakan:

“Disunnahkan agar seorang ayah atau kakek tidak menikahkan anak gadis sebelum baligh, dan hendaknya meminta izinnya, agar tidak menjebaknya dalam ikatan pernikahan dengan suami yang tidak ia sukai.” (Syarah Nawawi ‘ala Shahih Muslim, IX/206)

Dalam konteks hukum positif, UU No. 16 Tahun 2019 telah menetapkan usia minimal pernikahan baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun, guna mencegah dampak negatif terhadap pendidikan, kesehatan, dan masa depan anak.

Lebih jauh, Syekh Wahbah az-Zuhaili dalam Fiqhul Islami menyebut ada tujuh syarat ketat bagi pernikahan anak perempuan, di antaranya: tidak ada permusuhan dengan calon suami, mahar harus layak, dan tidak menikahkan dengan lelaki yang bisa menyulitkan kehidupan rumah tangga, seperti yang sudah sangat tua atau cacat berat.

Pernikahan dini bukan sekadar soal hukum sah atau tidak. Ini soal kesiapan hidup. Ulama menempatkan kemaslahatan di atas segalanya. Negara pun hadir bukan untuk membatasi, tapi untuk melindungi. Jika tidak hati-hati, pernikahan bisa berubah dari ibadah menjadi beban. (ivan)

Wallahu A‘lam Bishawab.