JAKARTA, PustakaJC.co - Dua mahasiswa menggugat Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menilai revisi tersebut bertentangan dengan prinsip keterbukaan dan hak konstitusional warga negara.
Dua mahasiswa, Hidayatuddin dan Respati Hadinata, mengajukan permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Permohonan tersebut teregistrasi dengan nomor perkara 58/PUU-XXIII/2025. Dilansir dari laman surabayapagi.com, Senin, (28/4/2025).
Dalam dokumen permohonan yang dilihat dari laman resmi MK pada Minggu (27/4/2025), Hidayatuddin dan Respati bertindak sebagai Pemohon I dan II mewakili empat mahasiswa lainnya: Risky Kurniawan, Albert Ola Masan Setiawan Muda, Otniel Raja Maruli Situmorang, dan Jamaluddin Lobang.
Mereka mempersoalkan proses pembentukan revisi UU TNI yang dinilai tidak memenuhi asas keterbukaan publik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
“Pembahasan revisi UU TNI tidak dilakukan secara transparan dan akuntabel, sehingga melanggar prinsip negara hukum demokratis,” ujar para pemohon dalam berkas permohonannya.
Selain itu, para pemohon menyoroti ketidakjelasan aturan mengenai penyelesaian konflik komunal dalam UU TNI. Menurut mereka, pasal-pasal yang mengatur tentang peran TNI dalam membantu pemerintah daerah dalam menyelesaikan konflik komunal tidak memiliki kejelasan definisi dan mekanisme pelaksanaannya.
“Dalam UU TNI, penyelesaian konflik komunal tidak memiliki kepastian hukum yang jelas, dan penggunaan istilah ‘pemogokan’ juga tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai substansi dan prosedurnya,” tulis mereka.
Para pemohon merasa memiliki dasar hukum untuk mengajukan gugatan karena merupakan warga negara pembayar pajak, sehingga hak konstitusional mereka harus dilindungi dalam setiap proses legislasi.
“Sebagai pembayar pajak, kami merasa berhak meminta pertanggungjawaban melalui mekanisme ganti kerugian atas dilanggarnya hak konstitusional dalam pembentukan undang-undang,” ujar para pemohon.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi menyatakan pembentukan dan pengesahan revisi UU TNI bertentangan dengan UUD 1945 serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Mereka juga meminta Mahkamah mempertimbangkan pemberian ganti rugi dalam putusan.
Saat ini, Mahkamah Konstitusi masih menjadwalkan sidang pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan administrasi permohonan tersebut.
Perkara ini menjadi bagian dari serangkaian upaya masyarakat sipil dalam mengawasi proses legislasi agar tetap berjalan sesuai prinsip keterbukaan, partisipasi, dan perlindungan hak konstitusional warga negara. (ivan)