REMBANG, PustakaJC.co - Sosok KH Ahmad Mustofa Bisri atau yang akrab disapa Gus Mus dikenal luas sebagai ulama yang melintasi batas-batas tradisional pesantren dan kebudayaan. Lahir di Rembang, Jawa Tengah, 10 Agustus 1944, Gus Mus tumbuh dalam tradisi pesantren dan menempuh pendidikan di berbagai lembaga ternama seperti Pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta, hingga Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir.
Selama di Mesir, Gus Mus bersahabat erat dengan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Sekembalinya ke Tanah Air, Gus Mus aktif mengasuh Pesantren Raudlatuth Tholibin Leteh, Rembang pesantren yang juga diasuh oleh ayahnya. Dilansir dari laman nu.or.id, Jumat, (25/4/2025).
Sebagai kiai, Gus Mus dikenal aktif berdakwah ke berbagai daerah serta giat menerjemahkan karya-karya klasik Islam ke dalam bahasa Indonesia dan Jawa. Beberapa karyanya yang telah diterbitkan antara lain Dasar-dasar Islam (1401 H), Ensiklopedi Ijma’ (bersama KH MA Sahal Mahfudh, 1987), Kimiya-us Sa'aadah (dalam bahasa Jawa, Penerbit Assegaf Surabaya), Syair Asmaul Husna (bahasa Jawa), serta Mahakiai Hasyim Asy’ari (1996).
Di samping itu, Gus Mus juga menulis esai-esai sosial keagamaan seperti Mutiara-Mutiara Benjol (1994), Saleh Ritual Saleh Sosial (1995), Pesan Islam Sehari-hari (1997), dan Fikih Keseharian I–II (1997).
Dari Pesantren ke Panggung Sastra
Tak hanya dikenal sebagai ulama, Gus Mus juga mendapat tempat istimewa di dunia sastra Indonesia. Puisinya yang berjudul Kau Ini Bagaimana atau Aku Harus Bagaimana menjadi simbol perenungan dan kritik sosial yang tajam namun tidak melukai. Puisinya banyak dikutip dalam berbagai forum, dibacakan oleh mahasiswa dan aktivis sosial sebagai bagian dari kesadaran publik terhadap keadilan sosial.
Sebagai penyair, Gus Mus telah menerbitkan sejumlah antologi puisi, di antaranya Ohoi (1991), Tadarus (1993), Rubaiyat Angin dan Rumput (1995), Pahlawan dan Tikus (1995), Gelap Berlapis-lapis, Gandrung, Sajak-Sajak Cinta (2000), dan Negeri Daging (2002).
Gaya puisi Gus Mus dikenal lugas dan menggunakan bahasa sehari-hari. Di balik kesederhanaannya, puisinya menyimpan kedalaman makna yang menggelitik nurani. Gaya ini sering disebut sebagai “kesederhanaan yang mengelabui” (deceptive simplicity). Tema sosial dan religius berpadu secara halus, seperti dalam puisinya berjudul Persaksian dari antologi Gandrung, Sajak-Sajak Cinta.
Cerpenis dan Pelukis
Gus Mus juga dikenal sebagai penulis cerpen. Karyanya Gus Jakfar dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik harian Kompas tahun 2003. Cerpen-cerpennya banyak mengangkat latar kehidupan pesantren dan dinamika masyarakat desa. Cerita-cerita tersebut dikumpulkan dalam buku Lukisan Kaligrafi (2003) yang kemudian mendapat penghargaan Sastra Mastera dari Pemerintah Malaysia pada 2005.
Kemampuan seni Gus Mus tak berhenti di sastra. Ia juga seorang pelukis. Ketertarikannya terhadap seni lukis mulai tumbuh saat nyantri di Krapyak. Diam-diam, ia sering menyaksikan maestro Affandi melukis. Karyanya pernah dipamerkan di sejumlah kota besar, salah satunya di Masjid Al-Akbar Surabaya pada 4–8 Maret 2003.
Salah satu lukisan yang pernah dipamerkan berjudul Berdzikir Bersama Inul, yang mengajak masyarakat untuk merenung dan memahami realitas sosial secara lebih jernih. Gus Mus menggunakan lukisan sebagai media tafsir sosial yang halus namun kuat.
Tokoh Lintas Generasi
Karya dan kiprah Gus Mus tidak hanya diapresiasi di dalam negeri. Ia juga pernah diundang ke berbagai negara, baik di Eropa maupun Timur Tengah, untuk membaca puisi dan memberi ceramah kebudayaan.
Pada 30 Mei 2009, Gus Mus memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pidato ilmiahnya yang berjudul Mengkaji Ulang Beberapa Konsep Keislaman sebagai Mukaddimah Reformasi Keberagamaan untuk Mengembalikan Keindahan Islam, Gus Mus menegaskan pentingnya menghidupkan kembali nilai-nilai rahmatan lil ‘alamin dalam wajah keislaman umat.
“Islam bukan hanya soal hukum, tapi juga soal cinta dan rasa. Agama harus memuliakan manusia, bukan menakut-nakuti,” ungkap Gus Mus dalam pidato tersebut.
Memasuki usia ke-80, KH Ahmad Mustofa Bisri tetap menjadi teladan moral dan kultural bagi umat Islam Indonesia. Gagasan dan karya seninya menjadi oase spiritual di tengah hiruk pikuk zaman. Dalam berbagai kesempatan, Gus Mus selalu berpesan agar umat Islam kembali pada nilai-nilai ketulusan, kemanusiaan, dan cinta kasih.
“Dunia jangan dijadikan tujuan hidup,” pesannya yang singkat, namun mengandung makna mendalam. (ivan)