SURABYA, PustakaJC.co - Sekarang kita berada di bulan Syawal. Bulan kesepuluh dalam kalender Hijriyah ini datang setelah Ramadlan yang baru saja kita lalui. Dalam kalender Hijriah, hitungan hari dalam sebulan sebanyak 29 atau 30 hari, sebagaimana dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Nabi saw bersabda, "Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi (tidak banyak menulis dan berhitung). Satu bulan itu ada kalanya seperti ini dan seperti ini (sambil memberi isyarat dengan jari-jarinya), yakni sekali dalam 29 hari dan sekali dalam 30 hari". (HR Bukhari dan Muslim). Oleh karena itu, setahun dalam kalender Hijriah lebih cepat sekitar 12 hari dibanding dengan kalender Masehi.
Bukan sebuah kebetulan bulan kesepuluh ini dinamai Syawal dan datang setelah bulan yang kesembilan, Ramadlan. Kata "Syawwal" (dobel 'w' atau 'wau syiddah') dalam bahasa Arab berarti "meningkat" atau "mengangkat". Sedangkan Ramadlan berasal dari bahasa Arab رمضان (Ramaḍān), yang akar katanya رمض (ramaḍ) berarti "panas yang membakar" atau "teriknya panas" (Ibnu Manzhur, 2000). Secara maknawi, Ramadlan sering dikaitkan dengan pembakaran dosa melalui ibadah, puasa, dan peningkatan spiritual. Dikutip dari kemenag.go/id Selasa, (8/4/2025).
Dengan demikian, "peningkatan" kualitas dan "pengangkatan" ke level yang lebih tinggi semestinya menjadi hasil dari proses pembersihan diri selama Ramadlan. Ibarat mesin yang selesai di-tune up, performanya meningkat karena kerak dan karat sudah dibakar habis.
Syawal adalah momentum untuk membuktikan transformasi spiritual yang telah ditempa selama Ramadlan. Nilai-nilai seperti kejujuran, pengendalian diri, empati, dan kepedulian sosial yang terasah selama puasa harus dijaga agar tidak sekadar menjadi sensasi musiman. Ramadlan bukan akhir dari perjuangan, tetapi justru awal dari perjalanan menjaga kualitas iman dan amal.
Sayangnya, banyak yang terjebak dalam rutinitas tahunan: semangat beribadah meningkat di bulan Ramadlan, lalu menurun drastis setelahnya. Spirit Idul Fitri sebagai penanda awal bulan Syawal hanya menjadi euforia sesaat. Tradisi silaturrahim, saling memaafkan, dan suasana kekeluargaan hanya berlangsung sementara. Setelah itu, hidup kembali seperti sebelumnya bahkan tak jarang lebih buruk.
Padahal, Idul Fitri membawa pesan kembalinya manusia kepada fitrah: bertuhan, bersosial, berbudaya, dan bermoral. Spirit ini tampak dalam anjuran bertakbir, membayar zakat fitrah, melaksanakan sholat Id berjamaah, memakai wewangian, dan menjalin silaturrahim. Semua itu adalah simbolisasi dari manusia ideal yang tercerahkan bukan hanya secara ritual, tapi juga secara sosial dan spiritual.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu' menjelaskan bahwa salah satu tanda diterimanya amal adalah konsistensi dalam ketaatan setelah Ramadlan. Hal ini juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Rajab al-Hanbali dalam Lathaiful Ma’arif, bahwa para sahabat dan ulama salaf sangat serius menjaga semangat Ramadlan di bulan-bulan setelahnya.
Artinya, Syawal bukanlah waktu untuk bersantai. Justru di sinilah tantangan sesungguhnya dimulai: bagaimana mempertahankan dan meningkatkan kualitas diri. Spirit puasa yang menumbuhkan ketenangan, ketulusan, kedamaian, kenyamanan, dan kegembiraan harus dibawa dalam kehidupan sehari-hari baik dalam konteks ibadah, pekerjaan, maupun relasi sosial.
Penelitian Laurie Santos, pakar psikologi kognitif dari Yale, menunjukkan bahwa kesejahteraan emosional sangat mempengaruhi kinerja dan produktivitas. Maka, menjaga stabilitas spiritual setelah Ramadlan tidak hanya berdampak pada ketenangan batin, tetapi juga pada efektivitas kerja dan relasi sosial.
Sering kali, kita merasa telah cukup dengan ibadah selama Ramadlan. Merasa diri telah bersih dan kembali suci, padahal tantangan sejatinya baru dimulai. Subjektivitas seperti ini justru melemahkan semangat menjaga keberlanjutan amal dan membuka peluang terulangnya dosa. Alih-alih meningkat, yang terjadi adalah stagnasi spiritual. Bahkan bisa jadi kemunduran.
Inilah ujian Syawal yakni menjaga kestabilan, merawat semangat, dan menumbuhkan kualitas baru dalam hidup. Karena konsistensi bukan hanya soal mengulang, tetapi tentang bagaimana menjadikan kebaikan sebagai kebiasaan yang bertumbuh dan terus meningkat. (Ivan)