Ketua PBNU Sebut Enam dari Tujuh Agenda Reformasi Belum Terwujud

bumi pesantren | 22 Mei 2025 09:27

Ketua PBNU Sebut Enam dari Tujuh Agenda Reformasi Belum Terwujud
Ketua PBNU Alissa Wahid. (dok suara.com)

JAKARTA, PustakaJC.co - Ketua PBNU Alissa Wahid menilai bahwa setelah 27 tahun Reformasi bergulir, sebagian besar agenda yang diperjuangkan mahasiswa dan masyarakat sipil pada 1998 belum sepenuhnya terealisasi. Ia menyebut hanya satu agenda yang masih bertahan, yakni amandemen UUD.

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Alissa Qotrunnada Wahid, menyampaikan evaluasi terhadap capaian Reformasi pasca-1998. Menurutnya, dari tujuh agenda utama yang digulirkan saat itu, enam di antaranya belum berhasil diwujudkan.

 

“Dari tujuh agenda Reformasi, enam sudah gagal. Sudah dicoret semuanya. Tinggal amandemen UUD yang belum,” kata Alissa.

Alissa yang juga Direktur Jaringan Gusdurian mengungkapkan beberapa indikator kemunduran. Di antaranya, lemahnya pemberantasan korupsi serta kembalinya aparat militer dan kepolisian ke ranah sipil. “Gerakan antikorupsi sudah mandul, kemudian pemisahan TNI-Polri. Sekarang Polri dan TNI masuk kembali ke ruang sipil,” jelasnya.

Ia juga menyoroti kurangnya pelibatan publik dalam penyusunan narasi sejarah nasional. Sejumlah sejarawan, kata Alissa, mengungkapkan kekecewaan karena tidak dilibatkan dan khawatir akan adanya reframing terhadap peristiwa Reformasi.

“Para ahli sejarah menyampaikan kepada saya bahwa mereka kecewa karena tidak dilibatkan dan ada insinuasi bahwa masa Reformasi akan direframing. Itu jadi pertanyaan besar bagi kami, masyarakat sipil,” ujarnya.

Soal penegakan hak asasi manusia, Alissa menyebut masa pemerintahan Presiden ke-4 RI KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai periode paling progresif.

“Mekanisme HAM hampir semuanya diselesaikan pada zaman Gus Dur. Pilar-pilar demokrasi seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi dibangun saat itu. Beliau juga minta maaf kepada Timor Leste dan korban 1965,” tutur Alissa.

Meski demikian, ia mengakui adanya upaya dari Presiden Joko Widodo dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu secara non-yudisial. Namun, langkah tersebut dinilai masih belum menjawab kebutuhan korban secara utuh. “Paling tidak ada upaya untuk membangun ruang bersama, meski yang yudisial masih susah,” ucapnya.

Alissa menegaskan perlunya peran aktif masyarakat untuk terus mengawal nilai-nilai Reformasi.

“Makanya sekarang ini kita yang harus jaga atau kawal. Jangan sampai sejarah itu kemudian justru berubah,” pungkas Ketua PBNU ini.

Pernyataan Alissa Wahid menjadi pengingat penting bahwa Reformasi bukan hanya bagian dari sejarah, tetapi janji perubahan yang harus terus diperjuangkan bersama oleh seluruh elemen bangsa. (ivan)