SURABAYA, PustakaJC.co - Sebuah momen penuh haru mewarnai Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). Usai Presiden Prabowo Subianto secara resmi menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), para petinggi Nahdlatul Ulama (NU) tampak menundukkan kepala dalam-dalam. Mereka sungkem kepada keluarga Gus Dur — sebuah simbol penghormatan yang menggugah hati publik.
Dalam barisan para tamu negara itu, tampak Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) dan Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) melangkah mendekati Sinta Nuriyah Wahid, istri mendiang Gus Dur, yang duduk di kursi roda. Dengan gerakan lembut dan mata berkaca-kaca, Gus Yahya menunduk, mencium tangan Sinta, lalu menatapnya penuh hormat. Gus Ipul pun mengikuti langkah yang sama. Momen itu terekam kamera dan sontak viral di media sosial — menjadi simbol penghormatan generasi penerus NU kepada sang guru bangsa.
“Ini bukan sekadar penghormatan, tapi bentuk rasa syukur dan cinta kami kepada Gus Dur,” ujar Gus Yahya usai prosesi, dengan suara bergetar. Ia menyebut, perjuangan Gus Dur bukan hanya milik NU, tapi milik seluruh bangsa Indonesia — dari nilai pluralisme, keberanian melawan ketidakadilan, hingga pembelaannya pada kelompok minoritas.
Di belakang mereka, tampak Yenny Wahid, putri kedua Gus Dur, berdiri mendampingi sang ibu. Senyum haru terpancar dari wajahnya, menatap para tokoh yang datang dengan mata berkaca-kaca. “Bagi kami, ini bukan soal gelar semata, tapi pengakuan atas nilai-nilai kemanusiaan yang selalu diperjuangkan Ayah,” ucap Yenny pelan.
Prosesi itu menjadi titik balik emosional bagi banyak kalangan, terutama warga Nahdliyin yang sejak lama menantikan pengakuan negara atas jasa Gus Dur. Gelar Pahlawan Nasional ini dianggap sebagai peneguhan kembali jejak perjuangan sang tokoh lintas zaman — dari santri Tebuireng hingga Presiden ke-4 Republik Indonesia.
Dalam daftar penerima gelar tahun ini, ada sepuluh tokoh, namun nama Gus Dur-lah yang paling menggema. Dari Jawa Timur sendiri, selain Gus Dur, juga dianugerahkan kepada Syaikhona Kholil Bangkalan, guru para ulama besar, serta Marsinah, pejuang buruh yang menjadi simbol keadilan sosial.
Kediaman keluarga Wahid di Ciganjur pun ramai dikunjungi tokoh-tokoh NU, akademisi, dan santri dari berbagai daerah. Tak sedikit yang datang untuk sekadar membaca tahlil, bersyukur, dan berfoto di depan potret besar Gus Dur yang dipajang di ruang tamu. Di media sosial, ribuan warganet menulis ucapan syukur dan doa: “Akhirnya, Gus Dur resmi pahlawan nasional. Terima kasih atas cahaya yang tak pernah padam.”
Di tengah suasana itu, terlihat betapa penghormatan kepada Gus Dur tidak berhenti pada gelar negara. Ia telah menjadi simbol keberanian untuk tetap manusiawi dalam politik, dan simbol keislaman yang ramah dalam keberagaman.
“Gus Dur selalu mengajarkan, jangan membalas kebencian dengan kebencian. Itulah pelajaran terbesar dari seorang pahlawan sejati,” ujar Yenny dengan mata yang mulai basah.
Malam harinya, ribuan santri dan jamaah NU menggelar doa bersama di berbagai pesantren — dari Tebuireng, Jombang, hingga Bangkalan. Mereka membaca tahlil dan shalawat untuk mendoakan Gus Dur, Syaikhona Kholil, dan para pahlawan lain yang baru saja ditetapkan.
Bagi warga NU, momen sungkem di Istana Negara bukan sekadar simbol tradisi Jawa, tapi refleksi nilai yang diajarkan Gus Dur sendiri: bahwa menghormati leluhur, guru, dan sesama manusia adalah bagian dari iman.
Dan hari itu, sejarah mencatat — bukan hanya Gus Dur yang diangkat menjadi pahlawan nasional, tapi juga semangat kemanusiaan yang diwariskannya kembali menyala di hati rakyat Indonesia. (int)