Diplomasi Gagal, Tokoh Agama Ambil Alih Peran Perdamaian Global

bumi pesantren | 02 Agustus 2025 05:41

Diplomasi Gagal, Tokoh Agama Ambil Alih Peran Perdamaian Global
Dialog Nasional Ormas Islam dan Organisasi Kepemudaan Islam. (dok kemenag)

 

 

 

Jakarta, PustakaJC.co - Diplomasi formal dinilai belum cukup ampuh meredam konflik global. Dalam situasi seperti ini, tokoh agama justru memainkan peran kunci yang melampaui sekadar pertemuan antarnegara.

 

“Kalau perang masih terjadi, itu artinya ada yang tidak beres dengan jalur diplomasi. Di sinilah diplomasi agama menjadi penting,” tegas Staf Khusus Menteri Agama, Faried F. Saenong, dalam Dialog Nasional Ormas Islam dan Organisasi Kepemudaan Islam di Auditorium HM. Rasjidi, Kemenag RI, dikutip dari kemenag.go.id, Sabtu, (2/8/2025).

 

Menurut Faried, diplomasi berbasis nilai agama memiliki kekuatan moral dan kultural yang dapat menjangkau pihak-pihak yang bahkan tidak memiliki hubungan diplomatik formal.

 

 “Ada negara-negara yang tidak punya hubungan resmi dengan kita, tapi pemimpin agama bisa duduk satu meja dengan siapa pun,” ungkapnya.

Ia menyoroti kiprah Kementerian Agama yang aktif membangun jaringan lintas iman, seperti kolaborasi dengan Vatikan, Rabithah Alam Islami, hingga tokoh agama dari Asia dan Afrika.

 

“Pak Menteri Agama aktif menjalin jaringan global lintas iman. Ini kekuatan lunak Indonesia yang tidak boleh kita abaikan,” ucapnya.

 

Faried juga menyebut Indonesia sebagai model keberhasilan mengelola keberagaman. “Islam Indonesia sudah dikenal dunia: moderat, menjunjung kesetaraan, dan harmonis dengan demokrasi,” katanya. Bahkan, beberapa negara besar kini menjadikan Indonesia sebagai rujukan dalam isu kebebasan beragama dan kesetaraan gender.

Namun ia mengingatkan, kekuatan eksternal harus ditopang oleh kesiapan internal. “Jangan sampai kita bicara besar di luar, tapi belum kuat di dalam. Ini pekerjaan besar kita semua,” katanya serius.

 

Faried optimistis masa depan Indonesia lebih cerah, meski tak memiliki sejarah kejayaan politik seperti Mesir atau Arab Saudi.

 

“Tapi kita punya modal sosial yang kuat: kerukunan, demokrasi, dan keberagaman yang hidup,” ujar Faried.

 

 

Ia menegaskan, diplomasi agama bukan simbol, melainkan strategi kultural-politik yang mendesak. “Ini bukan pilihan. Ini kebutuhan geopolitik kita hari ini,” tegasnya lagi.

 

Acara ini juga dihadiri oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, Wamenag Romo R. Muhammad Syafi’i, serta sejumlah pejabat tinggi lintas agama dan tokoh masyarakat. (ivan)